KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah, dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ijtihad Dan Dinamika Pemikiran Islam”.
Makalah ini disusun
guna memberikan informasi tambahan mengenai perspektif Ijtihad yang sesuai
dengan hukum syara’ dalam Islam dengan berbagai macam pendapat beberapa ulama
fuqaha. Serta mengenai berbagai ruang lingkup dari Ijtihad itu sendiri. Makalah
ini juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam.
Penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang sumbernya berupa artikel dan tulisan telah
penulis jadikan referensi guna penyusunan makalah ini, semoga dapat terus
berkarya guna menghasilkan tulisan-tulisan yang mengacu terwujudnya generasi
masa depan yang lebih baik. Penulis berharap, semoga informasi yang ada dalam
makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, banyak kekurangan dan
kesalahan.Penulis menerima kritik dan saran yang membantu guna penyempurnaan
makalah ini.
Jember, 24 September 2012
Tim
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I. PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penulisan 5
D. Manfaat Penulisan 5
BAB II. PEMBAHASAN 6
A.
Pengertian Ijtihad 6
B.
Dasar-Dasar Ijtihad 8
C.
Lapangan Ijtihad 8
D.
Hukum Ijtihad 9
E.
Macam-Macam Ijtihad 9
F.
Urgensi Dan Kedudukan Ijtihad 10
G.
Metode Ijtihad 10
H.
Syarat-Syarat Mujtahid 11
I.
Tingkatan Mujtahid 12
BAB III. PENUTUP 14
a.
Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA 15
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Dewasa
ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam
kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling
efektif dalam memecahkan masalah.
Mengingat pentingnya dalam syari’at Islam yang
disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena memerlukan
penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara
sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas
oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad
terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh
dalam berdo’a. Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para
pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu
sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan di atas, kita
sebagai umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu yaitu dengan cara
melaksanakan ijtihad.
Makalah ini terfokuskan pada enam masalah yang akan dibahas penulis yaitu :
1. Definisi Ijtihad
2. Persoalan Ijtihad
3. Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
4. Syarat-syarat Mujtahid
5. Wilayah Mujtahid
6. Sebab-sebab yang Menimbulkan Perbedaan
Hasil Ijtihad
III. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memberikan pemahaman kepada kita
semua mengenai makna yang sesungguhnya mengenai Ijtihad dalam perspektif Islam
yang benar dan sesuai dengan syara’.
2. Untuk memberikan Penjelasan mengenai
seluruh ruang lingkup persoalan ijtihad.
3. Untuk memberikan pemahaman kepada kita
mengenai Urgensi dan kedudukan Ijtihad dalam kehidupan sehari-hari
4. Untuk memberikan penjelasan mengenai
syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid serta wilayah dari seorang
mujtahid.
5. Untuk menjelaskan dari sebab-sebab yang
menimbulkan perbedaan dari hasil ijtihad.
IV. Manfaat Penulisan
Manfaat
dari penulisan makalah ini :
1. Dapat mengarahkan kita pada penguasaan
materi mengenai Ijtihad
2. Dapat memberikan informasi tambahan
mengenai persoalan dari syarat-syarat mujtahid dan ruang lingkupnya.
BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD
SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafadz yang
‘am-khash, mutlaq-muqayyad, nasikh mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang
memerlukan penjelasan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah
berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan
yang datang silih berganti (Al-wahyu qad intaha wal Al-Waqa’ ila yantahi). Oleh
karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas ijtihad
menjadi sangat penting.
A.
PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ja-ha-da. Menurut
Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi.Kata ini pun berarti kesanggupan (Al-Wus),
kekuatan (Al-Thaqah), dan berat (Al-Masyaqqah).
Kata ijtihad secara bahasa, menurut Ahmad bin Ali
Al-Muqri Al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
بذل
وسعه وطاقته فى طلبة ليبلغ مجهوده ويصل الى نهايته
”Pengesahan kesanggupan dan kekuatan
(mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada ujung yang
ditujunya.”
Menurut
Asy-Syaukani , arti secara etimologi, ijtihad adalah:
عبارة
عن الستفراغ فى اي فعل
”Pembicaraan mengenai
pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja”
Secara
bahasa, arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat
An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.[1]
Semua
kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa
al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi
al-yamin).
Dalam
sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya:
“pada waktu sujud” dan hadist lain
yang artinya “rosul Allah SAW”
para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian
ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasy’i dan masa
sahabat.
Menurut
Abu Zahrah, secara istilah arti ijtihad adalah:
بذل
الفقيه وسعة فى استنباط الاحكام العملية من ادلتها التفصلية
”Upaya seseorang ahli fiqih dengan
kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci”.
Menurut
Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:
استفرغ
الوسع فى طلب الظن من الاحكام الشرعية
“Pengerahan segala kemampuan untuk
menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara’ ”.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan
bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan
dengan amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad berkenaan dengan dalil dzhonni
berbeda dengan Husen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya
dalam lapangan fiqh adalah ijtihad dalam pengertian sempit.
Dalam arti luas menurut Harun Nasution dan Ibrahim
Abbas Al-Dzarwi, mendefinisikan ijtihad juga berlaku dalam bidang politik,
akidah, tasyawuf dan filsafat,.
Menurut Fakhruddin ijtihad adalah pengarahan
kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan.
Sebagian ulama ada yang memmpersamakan ijtihad
dengan Qiyas, ada pula yang mepersamakan dengan ra’y. Dari definisi ijtihad
seperti digambarkan diatas terlihat beberapa persamaan dan perbedaan.
Perbedaanya
adalah pertama terletak pada
penggunaan bahasa. Kedua, terletak
pada subjek ijtihad dinisbatkan kepada kata mujtahid yang berkonotasi bahwa
lapangan ijtihad itu tidak hanya bidang fiqh. Ketiga, terletak pada metode ijtihad.
Metode
mangkuli (dari Al-Qur’an dan Sunnah) yaitu metode yang mengikuti (Ittiba’)
sebagian lagi menggunakan metode ma’kuli (berdasarkan Ra’y dan akal). Metode
ini berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah SAW.
Adapun
persamaannya adalah pertama, hukum yang dihasilkan bersifat Zhanni. Kedua,
objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi yasitu hukum dengan amaliah
ibadah.[2]
B.
DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Diantara ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad.
Adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya
Hadits Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad
yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اذا
حكم الحاكم فاجتهد فاطاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum
dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan
tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan
satu pahala” . (HR. Muslim)
C.
LAPANGAN IJTIHAD (MAJAL AL-IJTIHAD)
Wilayah ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah
yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara
dharudoh dan bid’ah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qoth’i
al subut wal dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad, persoalan-persoalan
yang tergolong ma’ulima min ad din bi ‘al dhoruroh diantaranya kewajiban shalat
lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan.
Secara lebih jelas, Wahbah Az Zuhaili menjelaskan
bahwa lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama,
sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi dalam Al-Qur’an
dan Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua,
sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau
salah satunya (Zhanni Ats Tsubut atau Zhanni Al Adalah).
D.
HUKUM IJTIHAD
Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan
kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan
dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib
kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama,
bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum
atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang
begitu saja tanpa kepastian hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua,
bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum
atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat.
Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus
tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka
melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga,
hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakukan atas persoalan atau kejadian
yang tidak atau belum terjadi.
Keempat,
hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qath’i, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas
peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma’.[3]
E.
MACAM-MACAM IJTIHAD
1. Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad
dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan ijtihad jam’i.
2. Dilihat dari lapangannya ijtihad dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:
·
Ijtihad
pada masalah-masalah yang ada nassnya tapi bersifat zhanni.
·
Ijtihad
untuk mencapai suatu hukum syara’ dengan penetapan kaidah kulliyah yang bisa
diterapkan tanpa adanya suatu nass.
·
Ijtihad
bi ar-ra’i yaitu ijtihda yang berpegang pada tanda-tanda dan wasilah yang telah
ditetapkan syara’ untuk menunjuk pada suatu hukum.
F.
URGENSI DAN KEDUDUKAN IJTIHAD
1. Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa
berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena mengingat hasil ijtihad merupakan
analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari akal manusia sendiri yang relatif,
maka hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa berlaku dan pada saatnya
yang lain bisa tidak berlaku.
2. Hasil ijihad tidak berlaku umum,
dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam ketentuan ini generasi terhadap
suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam bertebaran diseluruh dunia
dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang berbeda. Lungkungan sosial dan
budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah belum tentu berlaku
di daearah lain.
3. Proses ijtihad harus mempertimbangkan
motifasi, akibat dan permasalahan umum (umat)
4. Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk
masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah tersebut telah ada ketetapannya dalam
Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian kaidah yang penting dalam melakukan
ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an
dan sunnah.
Lebih lanjut, urgensi ijtihad dapat dilihat dari
fungsi ijtihad itu sendiri yang terbagi atas tiga macam, yaitu :
1. Fungsi al-ruju’ atau al-i’dah (kembali),
yaitu mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an
dan sunnah Shahihah dari segala interpretasi yang dimugkinkan kurang relevan.
2. Fungsi Al-Ihya’ (kehidupan), yaitu
menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar
mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu menjadi
sebagai furqon, hudan, dan rahmatil lil’alamin.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), yakni
membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama’ terdahulu dan
dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang
kini kita hadapi.
G.
METODE IJTIHAD
1. QIYAS (mengukur atau membandingkan atau
menimbang dengan menimbangkan sesuatu). Contoh: pada masa nabi ada belum ada
permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam
menentukan zakat.
2. IJMA’ atau konsensus. Kata ijma’ berasal
dari kata jam’un yang artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua
makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab
itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula
sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan dengan
hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga berencana.
3. ISTIHSAN, istihsan artinya preference,
makna aslinya ialah menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu
menurut terminologi para ahli hukum, berarti didasarkan atas kepentingan umum
atau kepentingan keadilan, sebagai contoh adalah peristiwa Ummar bin hatab yang
tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa paceklik.
4. MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan
yang berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’.
Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa.
Contoh metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dalam ketentuan nash bahwa
khamar dan judi itu manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu masalah yang mengandung
masalahat dan manfaat, didahulukan menolak mafsadat. Untuk ini terdapat kaidah,
“menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan
apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat”.
5. Disamping itu masih terdapat metode
ijtihad yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan Istishab.[4]
H.
SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid
ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan
hukum dari sumber hukum syari’at dan tathbiqh / penerapan hukum)
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu
menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi
atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas
2. Mujtahid yaitu orang yang melakukan ijtihad
yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu
3. Mujtahid fih ialah hukum-hukum syari’ah
yang bersifat amali (taqlifi).
4. Dalil syara’ untuk menentukan suatu
hukum bagi mujtahid fih
Menurut fakkhr ad-din, Muhammad bin Umar bin Al
Husin Ar Razi, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1. Mukalaf
2. Mengetahui makna-makna lafadz dan
rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhatab
yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4. Mengetahui keadaan lafadz, apakah
memiliki Qorinah atau tidak.
Berbeda dengan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin
‘Ali bin Muhammad As Syaukani
menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
3. Mengetahui Al-Qur’an dan Sunnah yang
berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum
4. Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur’an
dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
5. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, membahas
dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
6. Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak
berfatwa berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
I.
TINGKATAN MUJTAHID
Menurut Muhaimin dkk, terbagi menjadi beberapa
tingkatan Mujtahid :
Mujtahid Mutlaq dan
Mujtahid Mazhab
1. Mujtahid
mutlaq ialah mujtahid yang mampu menggali
hukum-hukum agama dari sumbernya. Mujtahid mutlaq terbagi menjadi beberapa
tingkatan, tingkatan itu ialah mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid madzhab.
2. Mujtahid
mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang dalam
ijtihadnya menggunakan metode dan dasar yang ia susun sendiri.
Empat tokoh madzhab fiqh terkenal seperti Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Kedua mujtahid mutlaq
muntasib yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat mutlaq mustaqil tetapi ia
tidak menyusun metode tersendiri, ia menggunakan keterangan imamnya untuk
meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contoh, Al- Muzami dari
madzhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziad dari madzhab Hanafi mujtahid fi – al
madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak
atau belum dikeluarkan oleh madzhabnya itu. Contohnya, Abu Jafar al tahtawi
dalam madzhab Hanafi.
Kelompok mujtahid ini terbagi dua:
1.
Mujtahid tahkrij
2. Mujtahid
tarjih (mujtahid fatwa).
Tampaknya
untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi, oleh kaena itu ijtihad tidak
hanya dapat di lakukan oleh perorangan (ijtihad faridah), tetapi juga dapat
dilakukan secara kelompok (ijtihad jama’i). Artinya sekelompok ulama dengan
disiplin ilmu yang berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad.
Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat,
yaitu antara lain :
1. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang
dalam masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu
merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh.
2. Mujtahid fil al-Mazhab, yaitu tingkat
mujtahid yang dalam Ushul Fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid karena
mereka mereka berijtihad meng-istinbat-kan hukum pada permasalahan yang tidak
ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya.
3. Mujtahid
fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hukum
tetapi terbatas memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai
kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari
pendapat-pendapat yang ada, dengan menggunakan metode tarjih yang telah
dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya. Dengan metode itu, ia sanggup
melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya..
B A B III
PENUTUP
A. K
E S I M P U L A N
Ijtihad merupakan suatu proses pengadilan hukum
islam yaqng berkaitan erat dengan bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan
dengan amal atau perbuatan. oleh karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad tidak
terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf, karena ijtihad hanya berkenaan dengan
dalil-dalil zhanni, sedangka ilmu kalam menggunakan dalil yang qhati’, baik
dalam Al-Qur’an mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada beberapa persamaan dan
perbedaan dan adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur’an dan Sunnah.
Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunat atau haram,
bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah
peristiwa keinginan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Melihat
persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu.
Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh
setiap orang.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mukti, 1990, “Ijtihad dalam Pandangan Muhammad
Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal”, Jakarta: PT Bulan Bintang,
Basyir, Ahmad Azhar, dkk, 1988, “Ijtihad dalam Sorotan”,
Bandung: Penerbit Mizan,
Qardawi,Yusuf,
1987, “ Ijtihad dalam Syariat Islam”, Jakarta: PT Bulan Bintang,
Zuhri, Saifudin, 2009, “Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber
Hukum Islam”, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
[1] Ali, Mukti, , “Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh,
Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal”, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990, hal
132.