Breaking News

Translate

Jumat, 27 Maret 2015

Makalah Tentang Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG MASALAH
Membicarakan tentang pembagian hadits dari segi kualitasnya ini tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadits menurut kuantitasnya. Sebagaimana dipahami bahwa dari segi kuantitas, hadits dapat dibedakan menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad.
Untuk yang disebut pertama memberikan pengertian bahwa hadits itu diterima secara yaqin bi-al-qat’I, yaitu nabi Muhammad saw. Memang benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan dihadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk berbuat dusta.Olehkarena kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian, baik terhadap sanad maupun matannya.
Sedangkan tipe hadits yang disebut kedua, hanya memberikan faedah zanny, (prasangka) dan karenanya harus diadakan penyelidikan lebih lanjut, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matannya, sehingga status hadis tersebut menjadi jelas “apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak”.
Atas dasar inilah, kemudian para ulama hadits membagi hadits secara kualitas, menjadi dua bagian, yaitu hadits maqbul dan  hadits mardud. Yang dimaksud dengan hadits maqbul adalah“ hadits yang telah memenuhi syarat-syarat penerimaan (qabul) yaitu apabila sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dhabith, dan matannya tidak syaz dan tidak ber’ilat. Hadits maqbul dapat dimaksud dengan hadits shahih dan hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan hadits mardud adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits maqbul, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan.Hadits mardud ini juga disebut dengan hadits dhaif.





B.  FOKUS PENULISAN
1.      Apa yang dimaksud dengan Hadits Sahih?
2.      Apa yang dimaksud dengan Hadits Hasan?
3.      Apa yang dimaksud dengan Hadits Dha’if?

C.  TUJUAN PENULISAN
1.      Mampu memahami pengertian dan kriteria Hadits Sahih serta mampu menyebutkan pembagian dan contoh-contohnya.
2.      Mampu memahami pengertian dan kriteria Hadits Hasan serta mampu menyebutkan pembagian dan contoh-contohnya.
3.      Mampu memahami pengertian dan kriteria Hadits Dha’if serta mampu menyebutkan pembagian dan contoh-contohnya.













BAB II
PEMBAHASAN
Pembagian Hadits Berdasarkan  Kualitas Rawi
Hadits dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Adapun hadits maqbul ialah hadits yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam hal ini hadis maqbul ialah hadits yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Sedangkan hadits mardud ialah hadits yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadits mardud ialah ialah hadits yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya.
A. Hadits Shahih
1.      Pengertian Hadits Shahih
Kata shahih berasal dari bahasa arab as-shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadits shahih hadits yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya. Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta didalam hadits tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.
Ibnu Al-Shalah (w. 643 H) memberikan pengertian hadis sahih sebagai berikut :
الحديث الصحيح هو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
Hadis sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatanya oleh orang yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada yang kejanggalan dan cacat.”

Definisi yang lebih ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi :
ما إتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagidhabith, tidak syaz dan tidak ber’illat.”
2.      Kriteria Hadits Shahih
Sebuah hadits dikatakan sahih apabila memenuhi kriteria yang meliputi:
a.       Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya; keadaaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu. Artinya, seluruh rangkaian para perawi hadis, sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
1).Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti;
2). Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat;
3). Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasana, akhbarana, ‘an, anna atau kata-kata lainnya.
b.   Perawinya Bersifat Adil
Kata ‘adil yang telah menjadi bahasa Indonesia, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur. Dengan demikian, perawi yang adil adalah perawi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1). Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadis haruslah orang yang beragama Islam ketika menyampaikan riwayatnya.
2). Bersetatus Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh.
3). Melaksanakan ketentuan agama dan meninggalkan larangannya.
4). Memelihara muru’ah yaitu memiliki rasa malu.
Sifat-sifat adil para perawi sebagaimana dimaksud sudah dapat diketahui melalui :
Popularitas perawi dikalangan ulama ahi hadis; perawi yang terkenal keutamaan pribadinya.
Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi.
Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada kesepakatan di antara para kritikus perawi hadis mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.
c.       Perawinya Bersifat Dhabith
Secara bahasa, dhabith berarti, “ yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Sedangkan secara istilah, dhabith dimaknai sebagai orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja bila menghendaki.
Dengan demikian, dhabith dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu dhabith shadran dan dhabith kitaban.Dhabith shadran ialah terpeliharanya periwanyatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain. Sedangkan dhabith kitaban ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Orang dikatakan dhabith, bukan berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Sebagai manusia, kemungkinan berbuat salah dan keliru sangatlah wajar.Namun, kekeliruan ini tidak terjadi berulang kali.Oleh karenanya, yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.
d.      Tidak Syadz (Janggal)
Maksud dari syadz di sini adalah suatu hadis yang bertentangan dengsn hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah. Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
e.       Tidak berillat (Gair Mu’allal)
Secara etimologis, term ‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal)berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Dengan makna ini, maka disebut hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang  merusakkan kualitas hadis.Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak ber’illat, adalah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kecacatan, kesamaran atau keragu-raguan.
Contoh hadits shahih: Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
Sumber-sumber hadits-hadits sahih adalah kitab-kitab yang memuat hadits sahih yaitu antara lain:
a). Al-Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama yang disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M).
b). Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab hadits terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Al-Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).
c). Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang menempati posisi ke dua setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-Nasisabury (206-261H).
d). Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar Al-huzaimah yang wafat pada 313 didalam kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab Al-Bukhari
e). Sahih Ibn-Hibban adalah kitab sahih yang di tulis oleh Abu hatim Muhammad Ibn-Hibban (354 H).

3. Pembagian  dan Contoh Hadits Shahih
Para ulama ahli hadis membagi hadis sahih kepada dua bagian, yaitu sahih li dhatihi dan sahih li gharihihi.Perbedaan keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada sahih li dzatihi, ingatan perawinya sempurna,sedang pada hadis sahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna.
a.       Hadits Sahih li Dzatihi
Hadis sahih li dzatihi, ialah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria kesahihan sebagaimana disebutkan, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya. Ini berarti bahwa hadis sahih  li dzatihi, adalah hadis sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian sahih di atas.
Contoh :
لولا أن أشق على أمتى أو على الناس لأمرتهم باسواك مع كل صلاة (رواه البخارى)

“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan salat.”(HR. Bukhori).
                       Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.
a.       Hadis Sahih li Ghairihi
Hadis sahih li ghairihi, adalah hadis hasan li dzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh perawi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa sebenarnya hadis tipe ini asalnya bukan hadis sahih, melainkan hadis hasan li dzatih.Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya, maka hadis hasan li dzatih ini berubah kedudukan menjadi sahih li gharihi, yakni hadis yang kesahihannya dibantu oleh adanya matan atau sanad yang lainnya.
Contoh :
سنن الترمذى - (ج 1 / ص 41)
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
                                   
4.      Kehujjahan Hadits Sahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadits sahihsebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i yaitu al-Qur’an dan hadis mutawatir.Oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadis sahih memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib diyakini.Dengan demikian sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.


B. Hadits Hasan
     1. Pengertian Hadits Hasan
Kata hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu yang menurut bahasa berarti sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan jiwa atau nafsu.Maka sebutan hadis hasan secara bahasa berarti hadis yang baik, atau yang sesuai dengan keinginan jiwa.
Adapun pengertian lain dari para ulama-ulama tentang hadis hasan ini, antara lain:
a.At-Turmudzi mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan hadis tersebut di riwayatkan pula melalui jalan lain.”
b.Ibnu Hajar mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya,khabar ahad yang di nukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa berilat dan syadz di sebut hadis shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.”
c.Ath-Thibi mengemukakan definisi hadis hasan sebagai “Hadis musnad (muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah atau hadis mursal yang (sanadnya) tsiqah , akan tetapi pada keduanya ada perawi lain: Hadis itu terhindar dari syudzudz dan illat).”
d.Ibnu Hajar al- Asqalani mendefinisikan hadis hasan sebagai “Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syadz.”
Jadi dari definisi-definsi di atas, dapat dikatakan bahwa hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada hadis sahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna, sedangkan hadis hasan kurang sempurna.
2.      Syarat-syarat Hadits Hasan
Secara rinci syarat-syarat hadis hasan sebagai berikut:
a. Sanadnya bersambung;
b.Perawinya adil;
c. Perawinya dhabith, tetapi kualitas kedhabitannya di bawahkedhabitan perawi hadis sahih;
d.Tidak terdapat kejanggalan atau syadz; dan
e. Tidak ber’illat.

3.      Pembagian dan Contoh Hadits Hasan
a.      Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadits Hasan Li Dzatihi ialah hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
b.      Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak di ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis.Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya.
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatan hadis tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu).
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakannya hasan, dari jalur Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan dari Bani Fazarah menikah dengan mahar dua sendal. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:

أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ ». فَقَالَتْ : نَعَمْ فَأَجَازَ
”Apakah engkau rela (ridha) sebagai gantimu dan hartamu dua sandal (maksudnya apakah engaku rela maharmu dua sandal).”Perempuan itu menjawab:”Iya (saya rela)” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammembolehkannya.
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata:”Dan dalam bab ini ada hadits dari ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisayhradhiyallahu ‘anhum.”
Maka ‘Ashim adalah seorang yang dha’if disebabkan buruknya hafalan.Namun imam at-Tirmidzi telah mengatakan bahwa hadits ini hasan dikarenakan datangnya riwayat ini dari banyak versi (sisi).
3.      Kehujahan Hadits Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan seperti halnya hadis sahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukan hadis hasan ini, baik hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke dalam kelompok sahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meski tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu.
Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal dengan hadis hasan ini.Sepertinya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan mereka terhadap hadis ini.Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang diterima sebagai hujjah) adalah hadis hasan li-dzatihi. Sedangkan terhadap hadis hasan li-ghairihijika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh banyaknya riwayat(riwayat lain) maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian maka tidak sah berhujjah denganny.
Kitab-kitab yang yang banyak memuat hadis hasan ini adalah Sunan Al-Thirmidzi, Sunan Abi Daud dan Sunan Al-Daruquthny.
C.Hadits Dhaif
1. Pengertian Hadis Dhaif
Secara etimologis, term dhaif berasal dari kata dhuf’un yang berarti lemah, lawan dari term Al-qawiy,yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat, menurut Imam al-Nawawi hadis dha’if adalah “hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan.”Sedangkan menurut ‘Ajjaj al-Khattib, hadis dha’if didefinisikan sebagai sebagai “Segala hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”. Menurut Nur al-Din ‘merumuskan hadits dha’if sebagai “Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul.
 Contoh hadits dhaif adalah: “ Bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya”. Hadits ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.
Sebab-sebab hadis dhaif ditolak, dilihat dari dua jurusan:
a.       Sanad Hadits
Dari sisi sanad Hadits ini diperinci ke dalam dua bagian:
1). Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya maupun kedhabitannya,ada 10 macam:
a. Dusta
b.Tertuduh dusta
c. Fasiq
d. Banyak salah
e. Lengah dalam menghafal
f. Banyak wahamnya
g. Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya
h.Tidak diketahui identitasnya
i. Penganut bidah
j.Tidak baik hafalannya
2). Sanadya tidak bersambung
a. Gugur pada sanadnya
b. Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
c. Gugur dua  orang rawi atau lebih secara berurutan
d. Rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut

2. Pembagian dan Contoh Hadis Dhaif
a). Ditinjau dari segi persambungan sanadnya
Ditinjau dari segi persambungan sanadnya (ittisal al-sanad), ternyata para ulama hadis menemukan banyak hadis yang sanadya tidak bersambung atau terputus. Hadis –hadis yang tergolong  dalam kelompok ini, diantaranya adalah hadits mursal, hadits munqati’, hadits mu’dal, dan hadits mudallas.
1).  Hadits Mursal
Secara etimologis, “mursal” diambil dari kata “irsal” yang berarti “melepaskan”. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyebut sebagai suatu hadis, karena orang yang meeriwayatkannya  melepaskan itu kepada Nabi, tanpa menyebut riwayatnya, yakni tidak menyebutkan rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang  yang pertama mengeluarkan hadis itu.
Berdasarkan definisi diatas, maka hadis mursal dapat dibagi dua macam, yaitu mursal al-jali dan mursal al-khafi. Jenis hadis  mursal al-jali yaitu tidak disebutkan nama sahabat tersebut oleh tabi’in besar, sedang jenis kedua, mursal al-khafi, yaitu pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
Termasuk dalam kategori hadis ini adalahhadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dariRasul saw.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadis mursal. Menurut  Muhammad ‘Ajjal al-Khatib pertama, membolehkan berhujjah dengan hadis mursal secara mulak. Ulama yang termasuk kelompok pertama adalah Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat sebagian ahli ilmu.Kedua, tidak membolehkan secara mutlak. Diceritakan oleh Imam Nawawi pendapat inididukung oleh jumhur ulama ahli hadis, Imam Syafi’I, kebanyakan ulama ahl fiqih, danahli ushul, dan ketiga, membolehkan menggunakan hadis mursal apabila ada riwayat lain yang musnad,diamalkanoleh sebagian ulama. Apabila terdapat riwayat lain yang musnad, maka hadis tersebut bisa dijadikan hujjah.
2).   Hadits Munqati’
Menurut Muhammad al-Sabag, hadis munqati’ adalah “hadis yang gugur pada sanadnyaseorang perawi, atau pada sanad tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadis munqati’ jelas termasuk kategori hadis dha’if.Oleh karenananya tidak dapat dijadikan hujjah.Sebab dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, menyebabkan hilangnya salah satu syarat-syarat dari hadis shahih.
3).   Hadits Mu’dhal
Secara etimologis, kata mu’dhal berarti “sesuatu yang sulit dicari” atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Sedangkan secara terminologis hadis mu’dhal didefinisikan sebagai “hadis yang gugur duasanadnya dua atau lebih,secara berturut-turut”.
Hadis mu’dhal berbeda dengan hadis munqati’.Ada hadis mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut. Sedang pada hadis munqati’, gugurnya dua orang perawi,terjadi secaraterpisah (tidak berturut-turut).
4).   Hadits Mu’allaq
Secara etimologis, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata “allaqa yang berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga itu menjadi tergantung”.
Sedangkan secara terminologis hadis mu’allaq adalah “hadis yangdihapus dari awal sanadnyaseorang perawi atau lebih secara berturut-turut”.
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada mukaddimah bab mengenaimenutup paha”,’berkata Abu Musa, “Rasulullah saw. Maenutupi kedua lutut beliau ketika Usman masuk”. Hadis tersebut adalah hadis mu’alla, karena bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
Hadits mu’allaq hukumnya mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad.Hukum ini adalah untuk hadis mu’allaq secara umum. Akan tetapi hadis mu’allaq yang terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim,mempunyai    guru ketentuan khusus. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadi-hadis itu bersambung,namun karena untuk meringkas dan mengurangi terjadinya pengulangan, maka sebagian perawinya dihapus.
5).   Hadits Mudallas
Secara etimologis, kata mudallas merupakan isim maf’ul dari kata tadlis yang berarti “menyumbunyikan cacat barang  yang dijual dari si pembeli”. Sedangkan secara terminologi  ilmu hadits, didefinisikan sebagai “menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkannya pada lahirnya dalam bentuk yang baik.
b). Ditinjau dari sifat matannya
1).   Hadits Mauquf
Yaitu berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus. Contoh:
صحيح البخاري - (ج 20 / ص 39)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو المُنْذِرِ الطُّفَاوِيُّ عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَعْمَشِ قَالَ حَدَّثَنِي مُجَاهِدٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ.وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ.
Hadits diatas yang bergaris bawah adalah hadits mauquf, karena itu adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu adalah sabda Rasulullah .
2).   Hadits Maqthu'
Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung maupun tidak. Contohnya adalah perkataan Haram bin Jubair yang merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:
 المؤمن اذا عرف ربه عز وجل احبه, واذا احبه اقبل اليه.
"Orang mukmin itu apabila telah mengenal Tuhannya , niscaya ia mencintai-Nya, dan apabila ia mencintai-Nya, niscaya Allah menerimanya.
  1. Kehujjahan Hadits Dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
a). Level kedhaifannya tidak parah. Hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya, dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
b). Berada di bawah nash lain yang shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya.Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
c). Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya. Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau.Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.










BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pada dasarnya penelitian hadits mempunyai dua sudut pandang, dari segi kualitas dan kuantitas. Dari segi kuantitas, objek penelitian adalah jumlah perawi yang ada pada tingkat sanad, penelitian tersebut telah menghasilkan klasifikasi hadits menjadi mutawatir dan ahad.
Sementara dari segi kualitas, yang menjadi objek penelitian adalah aspek personality dan intelektual seorang perawi. Karena kedua aspek tersebut sangat mempengaruhi kualitas suatu hadits.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadits yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadits tidak hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadits itu saja, yang biasa dikenal dengan masalah matan hadits, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.
Keberadaan perawi hadits sangat menentukan kualitas hadits, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadits. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadits.




DAFTAR PUSTAKA
Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Mudzakir, M. (1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif.
Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
As-Shalih, S. (1997).Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.



1 komentar:

  1. TOTO - Titanium White Dominus | TITanium Art - Titanium Arts
    TOTO babyliss pro titanium flat iron is one of the finest TOTO sculpture titanium muzzle brake creations. It titanium rainbow quartz is a combination of four layers of tungsten titanium layered patterns titanium coating – yellow, red, purple, white and pink.

    BalasHapus

Designed By