BAB I
PENDAHULUAN
Membicarakan tentang pembagian hadits dari segi kualitasnya ini tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadits menurut kuantitasnya. Sebagaimana dipahami bahwa dari segi kuantitas,
hadits dapat dibedakan menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad.
Untuk yang disebut pertama memberikan pengertian bahwa hadits itu diterima secara yaqin
bi-al-qat’I, yaitu nabi Muhammad saw. Memang
benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan dihadapan para sahabat,
berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat
untuk berbuat dusta.Olehkarena kebenaran sumber-sumbernya telah menyakinkan,
maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian,
baik terhadap sanad maupun matannya.
Sedangkan tipe hadits yang
disebut kedua, hanya memberikan faedah zanny, (prasangka) dan karenanya harus
diadakan penyelidikan lebih lanjut, baik yang berhubungan dengan sanad maupun
matannya, sehingga status hadis tersebut menjadi jelas “apakah diterima sebagai
hujjah atau ditolak”.
Atas dasar inilah,
kemudian para ulama hadits membagi hadits secara kualitas,
menjadi dua bagian, yaitu hadits maqbul dan
hadits mardud. Yang dimaksud dengan hadits
maqbul adalah“ hadits yang telah memenuhi syarat-syarat penerimaan (qabul)
yaitu apabila sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dhabith,
dan matannya tidak syaz dan tidak ber’ilat. Hadits maqbul dapat dimaksud dengan
hadits shahih dan hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan hadits mardud adalah hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits maqbul, baik yang berhubungan dengan sanad
maupun matan.Hadits mardud ini juga disebut dengan hadits dhaif.
B. FOKUS PENULISAN
1.
Apa yang dimaksud dengan
Hadits Sahih?
2.
Apa yang dimaksud dengan
Hadits Hasan?
3.
Apa yang dimaksud dengan
Hadits Dha’if?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Mampu memahami pengertian
dan kriteria Hadits Sahih serta mampu menyebutkan pembagian dan
contoh-contohnya.
2.
Mampu memahami pengertian
dan kriteria Hadits Hasan serta mampu menyebutkan pembagian dan contoh-contohnya.
3.
Mampu memahami pengertian
dan kriteria Hadits Dha’if serta mampu menyebutkan pembagian dan
contoh-contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pembagian Hadits Berdasarkan Kualitas Rawi
Hadits dari segi
kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.
Adapun hadits maqbul ialah hadits yang unggul pembenaran pemberitaanya, dalam
hal ini hadis maqbul ialah hadits yang mendapat dukungan bukti-bukti dan
membuat unggul itu adalah dugaan pembenaran. Sedangkan hadits mardud ialah
hadits yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadits mardud ialah ialah hadits
yang tidak unggul pembenaran dan pemberitannya.
A. Hadits Shahih
1.
Pengertian Hadits
Shahih
Kata shahih berasal
dari bahasa arab as-shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha,
yang berarti selamat dari penyakit. Para ulama mengatakan hadits shahih hadits
yang sanadnya tersambung dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang
sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW. atau Sahabat atau Tabi’in bukan hadits
yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat yang cacat pada penerimaannya.
Hadits sahih adalah hadits yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad serta
didalam hadits tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.
Ibnu Al-Shalah (w. 643
H) memberikan pengertian hadis sahih sebagai berikut :
الحديث الصحيح هو الحديث المسند
الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا.
“ Hadis
sahih yaitu musnad yang bersambung sanadnya dengan periwayatanya oleh orang
yang adil-dhabith dari orang yang adil lagi dhabith juga hingga akhir
sanad, serta tidak ada yang kejanggalan dan cacat.”
Definisi yang lebih
ringkas dinyatakan oleh Al-Suyuthi :
ما إتصل سنده بالعدول الضابطين
من غير شذوذ ولا علة
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi
yang adil lagidhabith, tidak syaz dan tidak ber’illat.”
2.
Kriteria Hadits Shahih
Sebuah hadits dikatakan
sahih apabila memenuhi kriteria yang meliputi:
a.
Sanadnya Bersambung
Maksudnya
adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari
perawi terdekat sebelumnya; keadaaan itu berlangsung demikian sampai akhir
sanad dari hadis itu. Artinya, seluruh
rangkaian para perawi hadis, sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat
yang menerima hadis langsung dari Nabi SAW, bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya suatu sanad,
biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut :
1).Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang
diteliti;
2). Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat;
3). Meneliti kata-kata yang
berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad,
yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasana, akhbarana,
‘an, anna atau kata-kata lainnya.
b. Perawinya Bersifat Adil
Kata ‘adil yang
telah menjadi bahasa Indonesia, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat
sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur. Dengan demikian,
perawi yang adil adalah perawi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1). Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadis haruslah
orang yang beragama Islam ketika menyampaikan riwayatnya.
2). Bersetatus Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh.
3). Melaksanakan ketentuan agama dan meninggalkan
larangannya.
4). Memelihara muru’ah yaitu memiliki rasa malu.
Sifat-sifat adil para
perawi sebagaimana dimaksud sudah dapat diketahui melalui :
Popularitas perawi
dikalangan ulama ahi hadis; perawi yang terkenal keutamaan pribadinya.
Penilaian dari para
kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
perawi.
Penerapan kaidah al-jarh
wa al-ta’dil, bila tidak ada kesepakatan di antara para kritikus perawi
hadis mengenai kualitas pribadi para perawi tertentu.
c.
Perawinya Bersifat Dhabith
Secara bahasa, dhabith
berarti, “ yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna.
Sedangkan secara istilah, dhabith dimaknai sebagai orang yang kuat hafalannya
tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan
saja bila menghendaki.
Dengan demikian, dhabith
dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu dhabith shadran dan
dhabith kitaban.Dhabith shadran ialah terpeliharanya periwanyatan
dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai meriwayatkannya kepada orang
lain. Sedangkan dhabith kitaban ialah terpeliharanya kebenaran suatu
periwayatan melalui tulisan.
Orang dikatakan dhabith,
bukan berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Sebagai
manusia, kemungkinan berbuat salah dan keliru sangatlah wajar.Namun, kekeliruan
ini tidak terjadi berulang kali.Oleh karenanya, yang demikian itu tidak
dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.
d.
Tidak Syadz (Janggal)
Maksud
dari syadz di sini adalah suatu hadis yang bertentangan dengsn hadis
yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah. Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa
hadis yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan
dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
e.
Tidak berillat (Gair Mu’allal)
Secara etimologis, term
‘illat (jamaknya ‘ilal atau al-‘ilal)berarti cacat,
kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Dengan makna ini, maka disebut hadis
ber’illat adalah hadis-hadis yang ada cacat atau penyakitnya.
Sedangkan
secara terminologis, ‘illat berarti sebab yang
tersembunyi yang merusakkan kualitas hadis.Keberadaannya menyebabkan
hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.Dengan demikian, maka yang dimaksud hadis yang tidak
ber’illat, adalah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat kecacatan,
kesamaran atau keragu-raguan.
Contoh hadits shahih: Dari Abu Hurairah r.a. beliau
berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setiap sendi tubuh badan manusia menjadi
sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, kamu melakukan keadilan
diantara dua orang yang berselisih faham adalah sedekah kamu membantu orang
yang menaiki kenderaan atau kamu mengangkat barang-barang untuknya kedalam
kenderaan adalah sedekah, Perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah
kamu berjalan untuk menunaikan solat adalah sedekah dan kamu membuang
perkara-perkara yang menyakiti di jalan adalah sedekah.” (H.R Bukhari dan
Muslim)
Sumber-sumber hadits-hadits sahih adalah kitab-kitab
yang memuat hadits sahih yaitu antara lain:
a). Al-Muawaththa ialah kitab hadis yang pertama yang
disusun oleh Imam Malik (93- 179H/712- 798 M).
b). Al-Jami’ As-Shahih Al-Bukhari merupakan kitab
hadits terbaik yang disususn oleh Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn
Ibrahim Al-Mughirah Ibn Birdizbah (194-256H).
c). Sahih muslim adalah kitab hadits shahih yang
menempati posisi ke dua setelah sahih bukhari kita yang disusun oleh Imam
Muslim Ibn Al-Hajaj Al-Qusyairy An-Nasisabury (206-261H).
d). Sahih ibn Huzaimah adalah kitab hadits sahih yang
disusun oleh abu abdullah ibn abu bakar Al-huzaimah yang wafat pada 313 didalam
kitab ini memuatt kitab hadits yang belum tercover dalam kitab Al-Bukhari
e). Sahih Ibn-Hibban adalah kitab sahih yang di tulis
oleh Abu hatim Muhammad Ibn-Hibban (354 H).
3. Pembagian
dan Contoh Hadits Shahih
Para
ulama ahli hadis membagi hadis sahih kepada dua bagian, yaitu sahih
li dhatihi dan sahih li gharihihi.Perbedaan keduanya terletak pada
segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada sahih li
dzatihi, ingatan perawinya sempurna,sedang pada hadis sahih li ghairihi,
ingatan perawinya kurang sempurna.
a.
Hadits Sahih li
Dzatihi
Hadis sahih li dzatihi,
ialah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria
kesahihan sebagaimana disebutkan, dan tidak memerlukan penguat dari yang
lainnya. Ini berarti bahwa hadis sahih li dzatihi,
adalah hadis sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian sahih di atas.
Contoh :
لولا
أن أشق على أمتى أو على الناس لأمرتهم باسواك مع كل صلاة (رواه البخارى)
“Andaikan
tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap
kali hendak melaksanakan salat.”(HR. Bukhori).
Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.
a.
Hadis Sahih li
Ghairihi
Hadis sahih li ghairihi,
adalah hadis hasan li dzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang
lain oleh perawi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa
sebenarnya hadis tipe ini asalnya bukan hadis sahih, melainkan hadis hasan
li dzatih.Karena adanya syahid atau mutabi’ yang
menguatkannya, maka hadis hasan li dzatih ini berubah kedudukan menjadi
sahih li gharihi, yakni hadis yang kesahihannya dibantu oleh adanya
matan atau sanad yang lainnya.
Contoh :
سنن الترمذى - (ج 1 /
ص 41)
حَدَّثَنَا أَبُو
كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
4.
Kehujjahan Hadits Sahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul
serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadits sahihsebagai hujjah yang wajib
beramal dengannya.Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan
penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan
dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i
yaitu al-Qur’an dan hadis mutawatir.Oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
aqidah.Sedang sebagian ulama lainnya dan ibn Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa
hadis sahih memfaedahkan ilmu qat’i dan wajib diyakini.Dengan
demikian sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.
B. Hadits Hasan
1. Pengertian
Hadits Hasan
Kata hasan berasal dari kata hasuna,
yahsunu yang menurut bahasa berarti sesuatu yang diinginkan dan
menjadi kecenderungan jiwa atau nafsu.Maka sebutan hadis hasan secara
bahasa berarti hadis yang baik, atau yang sesuai dengan keinginan jiwa.
Adapun pengertian lain
dari para ulama-ulama tentang hadis hasan ini, antara lain:
a.At-Turmudzi
mendefinisikan hadis hasan sebagai “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya
tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta. (pada matannya) tidak ada
kejanggalan (syadz) dan hadis tersebut di riwayatkan pula melalui jalan lain.”
b.Ibnu Hajar
mendefinisikan hadis hasan sebagai “Khabar ahad yang di nukilkan
melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya,khabar ahad yang di nukilkan
melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa
berilat dan syadz di sebut hadis shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang
kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih.”
c.Ath-Thibi mengemukakan
definisi hadis hasan sebagai “Hadis musnad (muttashil dan marfu’) yang
sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah atau hadis mursal yang (sanadnya)
tsiqah , akan tetapi pada keduanya ada perawi lain: Hadis itu terhindar dari
syudzudz dan illat).”
d.Ibnu Hajar al- Asqalani
mendefinisikan hadis hasan sebagai “Hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat
dan tidak syadz.”
Jadi dari
definisi-definsi di atas, dapat dikatakan bahwa hadis hasan hampir sama dengan
hadis sahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi. Pada
hadis sahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna, sedangkan hadis hasan
kurang sempurna.
2.
Syarat-syarat Hadits
Hasan
Secara rinci syarat-syarat hadis hasan sebagai
berikut:
a. Sanadnya bersambung;
b.Perawinya adil;
c. Perawinya dhabith, tetapi kualitas kedhabitannya di
bawahkedhabitan perawi hadis sahih;
d.Tidak terdapat kejanggalan atau syadz; dan
e. Tidak ber’illat.
3.
Pembagian dan Contoh
Hadits Hasan
a. Hasan Li Dzatihi
Yang dimaksud dengan hadits Hasan Li Dzatihi
ialah hadits yang sanadnya
bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari
awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat)
yang merusak.
b. Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi itu terjadi
dari hadis dha’if jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak di
ketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis.Akan tetapi mereka tidak sampai
kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek
lainnya.
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat
kesahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal
sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan
periwayatan hadis tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa
(mitslahu) maupun mirip (nahwahu).
Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam
at-Tirmidzi rahimahullah dan beliau
mengatakannya hasan, dari jalur Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari
‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan
dari Bani Fazarah menikah dengan mahar dua sendal. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ ». فَقَالَتْ : نَعَمْ فَأَجَازَ
”Apakah engkau rela (ridha) sebagai gantimu dan
hartamu dua sandal (maksudnya apakah engaku rela maharmu dua sandal).”Perempuan
itu menjawab:”Iya (saya rela)” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammembolehkannya.
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata:”Dan dalam bab ini ada hadits dari ‘Umar, Abu Hurairah, dan
‘Aisayhradhiyallahu ‘anhum.”
Maka ‘Ashim adalah
seorang yang dha’if disebabkan buruknya hafalan.Namun imam at-Tirmidzi telah
mengatakan bahwa hadits ini hasan dikarenakan datangnya riwayat ini dari banyak
versi (sisi).
3.
Kehujahan Hadits Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadis hasan
seperti halnya hadis sahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada
segolongan ulama yang memasukan hadis hasan ini, baik hasan li-dzatih maupun
hasan li-ghairih ke dalam kelompok sahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu
Khuzaimah meski tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu.
Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal
dengan hadis hasan ini.Sepertinya Al-Khattabi lebih teliti tentang penerimaan
mereka terhadap hadis ini.Makanya Al-Khattabi kemudian menjelaskan bahwa yang
mereka maksud dengan hasan disini (yang diterima sebagai hujjah) adalah hadis hasan
li-dzatihi. Sedangkan terhadap hadis hasan li-ghairihijika
kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh banyaknya
riwayat(riwayat lain) maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak demikian maka
tidak sah berhujjah denganny.
Kitab-kitab yang yang banyak memuat hadis hasan ini
adalah Sunan Al-Thirmidzi, Sunan Abi Daud dan Sunan Al-Daruquthny.
C.Hadits Dhaif
1. Pengertian Hadis Dhaif
Secara etimologis, term dhaif berasal dari kata
dhuf’un yang berarti lemah, lawan dari term Al-qawiy,yang berarti
kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah
hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat,
menurut Imam al-Nawawi hadis dha’if adalah “hadits yang didalamnya tidak
terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan.”Sedangkan
menurut ‘Ajjaj al-Khattib, hadis dha’if didefinisikan sebagai sebagai “Segala
hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”. Menurut Nur
al-Din ‘merumuskan hadits dha’if sebagai “Hadis yang hilang salah satu
syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul.
Contoh hadits
dhaif adalah: “ Bahwasannya Rasul wudhu dan beliau mengusap kedua kaos
kakinya”. Hadits ini dikatakan dhaif karena diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi,
seorang rawi yang masih dipersoalkan.
Sebab-sebab hadis dhaif ditolak, dilihat dari dua
jurusan:
a.
Sanad Hadits
Dari sisi sanad Hadits ini diperinci ke dalam dua
bagian:
1). Ada kecacatan pada perawinya baik berupa keadilannya
maupun kedhabitannya,ada 10 macam:
a. Dusta
b.Tertuduh dusta
c. Fasiq
d. Banyak salah
e. Lengah dalam menghafal
f. Banyak wahamnya
g. Menyalahi riwayat yang lebih
tsiqqah atau dipercaya
h.Tidak diketahui identitasnya
i. Penganut bidah
j.Tidak baik hafalannya
2). Sanadya tidak bersambung
a. Gugur pada sanadnya
b. Gugur pada sanad terakhir (sahabat)
c. Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan
d. Rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut
2. Pembagian dan Contoh Hadis Dhaif
a). Ditinjau dari segi
persambungan sanadnya
Ditinjau dari segi persambungan sanadnya (ittisal
al-sanad), ternyata para ulama hadis menemukan banyak hadis yang sanadya tidak
bersambung atau terputus. Hadis –hadis yang tergolong dalam kelompok ini,
diantaranya adalah hadits mursal, hadits munqati’, hadits mu’dal, dan hadits
mudallas.
1). Hadits
Mursal
Secara etimologis, “mursal” diambil dari kata “irsal”
yang berarti “melepaskan”. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyebut
sebagai suatu hadis, karena orang yang meeriwayatkannya melepaskan itu
kepada Nabi, tanpa menyebut riwayatnya, yakni tidak menyebutkan rawinya, yakni
tidak menyebutkan seseorang yang pertama mengeluarkan hadis itu.
Berdasarkan definisi diatas, maka hadis mursal
dapat dibagi dua macam, yaitu mursal al-jali dan mursal al-khafi.
Jenis hadis mursal al-jali yaitu tidak disebutkan nama sahabat
tersebut oleh tabi’in besar, sedang jenis kedua, mursal al-khafi, yaitu
pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
Termasuk dalam kategori hadis ini adalahhadis yang
diriwayatkan oleh sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dariRasul
saw.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadis
mursal. Menurut Muhammad ‘Ajjal al-Khatib pertama, membolehkan
berhujjah dengan hadis mursal secara mulak. Ulama yang termasuk kelompok
pertama adalah Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat sebagian ahli
ilmu.Kedua, tidak membolehkan secara mutlak. Diceritakan oleh Imam Nawawi
pendapat inididukung oleh jumhur ulama ahli hadis, Imam Syafi’I, kebanyakan
ulama ahl fiqih, danahli ushul, dan ketiga, membolehkan menggunakan hadis
mursal apabila ada riwayat lain yang musnad,diamalkanoleh sebagian ulama.
Apabila terdapat riwayat lain yang musnad, maka hadis tersebut bisa dijadikan
hujjah.
2). Hadits Munqati’
Menurut Muhammad al-Sabag, hadis munqati’
adalah “hadis yang gugur pada sanadnyaseorang perawi, atau pada sanad tersebut
disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadis
munqati’ jelas termasuk kategori hadis dha’if.Oleh karenananya tidak dapat
dijadikan hujjah.Sebab dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, menyebabkan
hilangnya salah satu syarat-syarat dari hadis shahih.
3). Hadits Mu’dhal
Secara etimologis, kata mu’dhal berarti
“sesuatu yang sulit dicari” atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Sedangkan
secara terminologis hadis mu’dhal didefinisikan sebagai “hadis yang gugur
duasanadnya dua atau lebih,secara berturut-turut”.
Hadis mu’dhal berbeda dengan hadis munqati’.Ada hadis
mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut. Sedang pada
hadis munqati’, gugurnya dua orang perawi,terjadi secaraterpisah (tidak
berturut-turut).
4). Hadits
Mu’allaq
Secara etimologis, kata mu’allaq
adalah isim maf’ul dari kata “allaqa”
yang berarti “menggantungkan sesuatu pada
sesuatu yang lain sehingga itu menjadi tergantung”.
Sedangkan secara terminologis hadis mu’allaq adalah
“hadis yangdihapus dari awal sanadnyaseorang perawi atau lebih secara
berturut-turut”.
Contoh hadits mu’allaq adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada mukaddimah bab mengenai “menutup
paha”,’berkata Abu Musa,
“Rasulullah saw. Maenutupi kedua lutut beliau ketika Usman masuk”. Hadis
tersebut adalah hadis mu’alla, karena bukhari menghapus seluruh sanadnya,
kecuali sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
Hadits mu’allaq hukumnya mardud
(tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu
persambungan sanad.Hukum ini adalah untuk hadis mu’allaq secara umum. Akan tetapi hadis
mu’allaq yang terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari dan
Muslim,mempunyai guru ketentuan khusus. Hal tersebut
dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadi-hadis itu bersambung,namun karena
untuk meringkas dan mengurangi terjadinya pengulangan, maka sebagian perawinya
dihapus.
5). Hadits Mudallas
Secara etimologis, kata mudallas merupakan isim
maf’ul dari kata tadlis yang berarti “menyumbunyikan cacat barang
yang dijual dari si pembeli”. Sedangkan secara terminologi ilmu hadits, didefinisikan
sebagai “menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkannya pada lahirnya dalam bentuk yang baik.
b). Ditinjau dari sifat
matannya
1). Hadits Mauquf
Yaitu berita yang hanya disandarkan sampai kepada
sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya
bersambung maupun terputus. Contoh:
صحيح البخاري - (ج 20
/ ص 39)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو
المُنْذِرِ الطُّفَاوِيُّ عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَعْمَشِ قَالَ حَدَّثَنِي
مُجَاهِدٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ:
أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ.وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ
يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا
تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ
لِمَوْتِكَ.
Hadits diatas yang
bergaris bawah adalah hadits mauquf, karena itu adalah perkataan Ibnu Umar
sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu adalah sabda Rasulullah .
2). Hadits Maqthu'
Yaitu perkataan atau
perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik
sanadnya bersambung maupun tidak. Contohnya adalah perkataan Haram bin Jubair
yang merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:
المؤمن اذا عرف ربه عز وجل احبه, واذا احبه اقبل
اليه.
"Orang mukmin
itu apabila telah mengenal Tuhannya , niscaya ia mencintai-Nya, dan
apabila ia mencintai-Nya, niscaya Allah menerimanya.
- Kehujjahan Hadits Dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas
berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif
boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
a). Level kedhaifannya tidak parah. Hadits dhaif itu
sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya, dari yang paling parah sampai
yang mendekati shahih atau hasan.Maka menurut para ulama, masih ada di antara
hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan
syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah,
boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
b). Berada di bawah nash lain yang shahih. Maksudnya
hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal,
harus didampingi dengan hadits lainnya.Bahkan hadits lainnya itu harus shahih.
Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah
nash yang sudah shahih.
c). Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini
ke-tsabit-annya. Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita
tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau
perbuatan beliau.Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas
kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada dasarnya penelitian hadits mempunyai dua
sudut pandang, dari segi kualitas dan kuantitas. Dari segi kuantitas, objek
penelitian adalah jumlah perawi yang ada pada tingkat sanad, penelitian
tersebut telah menghasilkan klasifikasi hadits menjadi mutawatir dan ahad.
Sementara dari segi kualitas, yang menjadi
objek penelitian adalah aspek personality dan intelektual seorang perawi.
Karena kedua aspek tersebut sangat mempengaruhi kualitas suatu hadits.
Dengan
demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadits yang terhimpun dalam
kitab-kitab hadits tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak,
terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadits tidak
hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadits itu saja,
yang biasa dikenal dengan masalah matan hadits, tetapi juga kepada berbagai hal
yang berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian
para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.
Keberadaan
perawi hadits sangat menentukan kualitas hadits, baik kualitas sanad maupun
kualitas matan hadits. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan
kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang
ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan
melakukan studi kritik Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta:
Amzah.
Mudzakir, M. (1998). Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Rahman, F. (1974). Ikhtisar Mushthalahul Hadits.
Bandung: PT Alma’arif.
Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
As-Shalih, S. (1997).Membahas Ilmu-Ilmu Hadits.
Pustaka Firdaus: Jakarta.
Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu Hadis. Bandung:
Angkasa.
TOTO - Titanium White Dominus | TITanium Art - Titanium Arts
BalasHapusTOTO babyliss pro titanium flat iron is one of the finest TOTO sculpture titanium muzzle brake creations. It titanium rainbow quartz is a combination of four layers of tungsten titanium layered patterns titanium coating – yellow, red, purple, white and pink.