Breaking News

Translate

Senin, 30 Maret 2015

Makalah Ijtihad




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Ijtihad Dan Dinamika Pemikiran Islam”.
Makalah ini disusun guna memberikan informasi tambahan mengenai perspektif Ijtihad yang sesuai dengan hukum syara’ dalam Islam dengan berbagai macam pendapat beberapa ulama fuqaha. Serta mengenai berbagai ruang lingkup dari Ijtihad itu sendiri. Makalah ini juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sumbernya berupa artikel dan tulisan telah penulis jadikan referensi guna penyusunan makalah ini, semoga dapat terus berkarya guna menghasilkan tulisan-tulisan yang mengacu terwujudnya generasi masa depan yang lebih baik. Penulis berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, banyak kekurangan dan kesalahan.Penulis menerima kritik dan saran yang membantu guna penyempurnaan makalah ini.



Jember, 24 September 2012

                                                                                                            Tim Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR                                                                                                              2
DAFTAR ISI                                                                                                                            3

BAB  I.  PENDAHULUAN                                                                                                  4

A.    Latar Belakang                                                                                    4

B.     Rumusan Masalah                                                                               4

C.     Tujuan Penulisan                                                                                 5

D.    Manfaat Penulisan                                                                              5

                                                                 

BAB II.           PEMBAHASAN                                                                                            6

A. Pengertian Ijtihad                                                                                                  6
B. Dasar-Dasar Ijtihad                                                                                                8
C. Lapangan Ijtihad                                                                                                    8
D. Hukum Ijtihad                                                                                                       9
E. Macam-Macam Ijtihad                                                                                           9
F. Urgensi Dan Kedudukan Ijtihad                                                                            10
G. Metode Ijtihad                                                                                                       10
H. Syarat-Syarat Mujtahid                                                                                          11
I. Tingkatan Mujtahid                                                                                                 12
BAB III.         PENUTUP                                                                                                      14
a. Kesimpulan                                                                                                             14

DAFTAR PUSTAKA                                                                                                                        15




BAB I
PENDAHULUAN

I.          Latar Belakang

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Mengingat pentingnya dalam syari’at Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh dalam berdo’a. Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.

Makalah ini terfokuskan pada enam masalah yang akan dibahas penulis yaitu :

1.      Definisi Ijtihad
2.      Persoalan Ijtihad
3.      Urgensi dan Kedudukan Ijtihad
4.      Syarat-syarat Mujtahid
5.      Wilayah Mujtahid
6.      Sebab-sebab yang Menimbulkan Perbedaan Hasil Ijtihad


III.       Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk memberikan pemahaman kepada kita semua mengenai makna yang sesungguhnya mengenai Ijtihad dalam perspektif Islam yang benar dan sesuai dengan syara’.
2.      Untuk memberikan Penjelasan mengenai seluruh ruang lingkup persoalan ijtihad.
3.       Untuk memberikan pemahaman kepada kita mengenai Urgensi dan kedudukan Ijtihad dalam kehidupan sehari-hari
4.      Untuk memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid serta wilayah dari seorang mujtahid.
5.      Untuk menjelaskan dari sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan dari hasil ijtihad.
IV.       Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini :
1.      Dapat mengarahkan kita pada penguasaan materi mengenai Ijtihad
2.      Dapat memberikan informasi tambahan mengenai persoalan dari syarat-syarat mujtahid dan ruang lingkupnya.










BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafadz yang ‘am-khash, mutlaq-muqayyad, nasikh mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang memerlukan penjelasan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (Al-wahyu qad intaha wal Al-Waqa’ ila yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas ijtihad menjadi sangat penting.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ja-ha-da. Menurut Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi.Kata ini pun berarti kesanggupan (Al-Wus), kekuatan (Al-Thaqah), dan berat (Al-Masyaqqah).
Kata ijtihad secara bahasa, menurut Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi menjelaskan bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
بذل وسعه وطاقته فى طلبة ليبلغ مجهوده ويصل الى نهايته
Pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada ujung yang ditujunya.”
Menurut Asy-Syaukani , arti secara etimologi, ijtihad adalah:
عبارة عن الستفراغ فى اي فعل
”Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja”
 Secara bahasa, arti ijtihad dalam artian ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35) ayat 42.[1]
Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Dalam sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya:
pada waktu sujud” dan hadist lain yang artinya “rosul Allah SAW” para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasy’i dan masa sahabat.
Menurut Abu Zahrah, secara istilah arti ijtihad adalah:
بذل الفقيه وسعة فى استنباط الاحكام العملية من ادلتها التفصلية
Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:
استفرغ الوسع فى طلب الظن من الاحكام الشرعية
Pengerahan segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara’ ”.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad berkenaan dengan dalil dzhonni berbeda dengan Husen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad dalam pengertian sempit.
Dalam arti luas menurut Harun Nasution dan Ibrahim Abbas Al-Dzarwi, mendefinisikan ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasyawuf dan filsafat,.
Menurut Fakhruddin ijtihad adalah pengarahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan.
Sebagian ulama ada yang memmpersamakan ijtihad dengan Qiyas, ada pula yang mepersamakan dengan ra’y. Dari definisi ijtihad seperti digambarkan diatas terlihat beberapa persamaan dan perbedaan.
Perbedaanya adalah pertama terletak pada penggunaan bahasa. Kedua, terletak pada subjek ijtihad dinisbatkan kepada kata mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad itu tidak hanya bidang fiqh. Ketiga, terletak pada metode ijtihad.
Metode mangkuli (dari Al-Qur’an dan Sunnah) yaitu metode yang mengikuti (Ittiba’) sebagian lagi menggunakan metode ma’kuli (berdasarkan Ra’y dan akal). Metode ini berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah SAW.
Adapun persamaannya adalah pertama, hukum yang dihasilkan bersifat Zhanni. Kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi yasitu hukum dengan amaliah ibadah.[2]
B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Diantara ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad.
Adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya Hadits Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاطاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر واحد
Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala” . (HR. Muslim)
C. LAPANGAN IJTIHAD (MAJAL AL-IJTIHAD)
Wilayah ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh dan bid’ah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qoth’i al subut wal dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad, persoalan-persoalan yang tergolong ma’ulima min ad din bi ‘al dhoruroh diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan.
Secara lebih jelas, Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi dalam Al-Qur’an dan Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau salah satunya (Zhanni Ats Tsubut atau Zhanni Al Adalah).
D. HUKUM IJTIHAD
Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakukan atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma’.[3]
E. MACAM-MACAM IJTIHAD
1.      Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan ijtihad jam’i.
2.      Dilihat dari lapangannya ijtihad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
·         Ijtihad pada masalah-masalah yang ada nassnya tapi bersifat zhanni.
·         Ijtihad untuk mencapai suatu hukum syara’ dengan penetapan kaidah kulliyah yang bisa diterapkan tanpa adanya suatu nass.
·         Ijtihad bi ar-ra’i yaitu ijtihda yang berpegang pada tanda-tanda dan wasilah yang telah ditetapkan syara’ untuk menunjuk pada suatu hukum.
F. URGENSI DAN KEDUDUKAN IJTIHAD
1.      Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena mengingat hasil ijtihad merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari akal manusia sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang bisa berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
2.      Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang berbeda. Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah belum tentu berlaku di daearah lain.
3.      Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi, akibat dan permasalahan umum (umat)
4.      Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
Lebih lanjut, urgensi ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yang terbagi atas tiga macam, yaitu :
1.      Fungsi al-ruju’ atau al-i’dah (kembali), yaitu mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an dan sunnah Shahihah dari segala interpretasi yang dimugkinkan kurang relevan.
2.      Fungsi Al-Ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu menjadi sebagai furqon, hudan, dan rahmatil lil’alamin.
3.      Fungsi al-Inabah (pembenahan), yakni membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang kini kita hadapi.
G. METODE IJTIHAD
1.      QIYAS (mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan menimbangkan sesuatu). Contoh: pada masa nabi ada belum ada permasalahan padi. Dengan demikian diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam menentukan zakat.
2.      IJMA’ atau konsensus. Kata ijma’ berasal dari kata jam’un yang artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan dengan hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga berencana.
3.      ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu barang atau menyukai barang itu menurut terminologi para ahli hukum, berarti didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan, sebagai contoh adalah peristiwa Ummar bin hatab yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang pencuri pada masa paceklik.
4.      MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dalam ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu manfaat bagi manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu masalah yang mengandung masalahat dan manfaat, didahulukan menolak mafsadat. Untuk ini terdapat kaidah, “menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan apabila berlawanan antara mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat”.
5.      Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan Istishab.[4]
H. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at dan tathbiqh / penerapan hukum)
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai berikut:
1.      Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas
2.      Mujtahid yaitu orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu
3.      Mujtahid fih ialah hukum-hukum syari’ah yang bersifat amali (taqlifi).
4.      Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih
Menurut fakkhr ad-din, Muhammad bin Umar bin Al Husin Ar Razi, syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1.      Mukalaf
2.      Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3.      Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4.      Mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki Qorinah atau tidak.
Berbeda dengan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad As Syaukani  menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
3.      Mengetahui Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum
4.      Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur’an dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
5.      Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
6.      Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
I. TINGKATAN MUJTAHID
Menurut Muhaimin dkk, terbagi menjadi beberapa tingkatan Mujtahid :
Mujtahid Mutlaq dan Mujtahid Mazhab
1.      Mujtahid mutlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya. Mujtahid mutlaq terbagi menjadi beberapa tingkatan, tingkatan itu ialah mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid madzhab.
2.      Mujtahid mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar yang ia susun sendiri.
Empat tokoh madzhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Kedua mujtahid mutlaq muntasib yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat mutlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri, ia menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contoh, Al- Muzami dari madzhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziad dari madzhab Hanafi mujtahid fi – al madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak atau belum dikeluarkan oleh madzhabnya itu. Contohnya, Abu Jafar al tahtawi dalam madzhab Hanafi.
Kelompok mujtahid ini terbagi dua:
1.      Mujtahid tahkrij
2.      Mujtahid tarjih (mujtahid fatwa).
Tampaknya untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi, oleh kaena itu ijtihad tidak hanya dapat di lakukan oleh perorangan (ijtihad faridah), tetapi juga dapat dilakukan secara kelompok (ijtihad jama’i). Artinya sekelompok ulama dengan disiplin ilmu yang berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad.
Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu antara lain :
1.      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh.
2.      Mujtahid fil al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid yang dalam Ushul Fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid karena mereka mereka berijtihad meng-istinbat-kan hukum pada permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya.
3.       Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan menggunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya. Dengan metode itu, ia sanggup melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya..
















B A B III
PENUTUP
A.        K E S I M P U L A N
Ijtihad merupakan suatu proses pengadilan hukum islam yaqng berkaitan erat dengan bidang fiqih, bidang hukum yasng berkenaan dengan amal atau perbuatan. oleh karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf, karena ijtihad hanya berkenaan dengan dalil-dalil zhanni, sedangka ilmu kalam menggunakan dalil yang qhati’, baik dalam Al-Qur’an mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada beberapa persamaan dan perbedaan dan adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur’an dan Sunnah. Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunat atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa keinginan yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Melihat persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu. Karena itu ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang.












DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, 1990,  “Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal”, Jakarta: PT Bulan Bintang,
Basyir, Ahmad Azhar, dkk, 1988, “Ijtihad dalam Sorotan”, Bandung: Penerbit Mizan,
Qardawi,Yusuf, 1987, “ Ijtihad dalam Syariat Islam”, Jakarta: PT Bulan             Bintang,
Zuhri, Saifudin, 2009, “Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam”, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,




[1] Ali, Mukti, ,  “Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal”, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990, hal 132.
[2] Qardawi,Yusuf, , “ Ijtihad dalam Syariat Islam”, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hal 78
[3] Qardawi,Yusuf, , “ Ijtihad dalam Syariat Islam”, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987, hal 79
[4] Basyir, Ahmad Azhar, dkk, , “Ijtihad dalam Sorotan”, Bandung: Penerbit Mizan, 1988, hal 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By