ISLAM DALAM BINGKAI FILSAFAT
UNTUK MENYELESAIKAN TUGAS MATA
KULIAH
PENGANTAR STUDI ISLAM
DOSEN PEMBIMBING:
M. Nasikhul Ibad, S.ag., M.si
DISUSUN
OLEH:
Anang Kusuma
083133129
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI
(STAIN) JEMBER
November, 2013
ISLAM DALAM BINGKAI FILSAFAT
A.
Definisi Filsat Islam
filsafat islam
terdiri dari dua kata yaitu filsafat dan islam. Dalam khasanah ilmu, filsafat
diartikan sebagai berpikir yang bebas, radikal, dan berada dalam dataran makna.
Bebas artinya tidak ada yang menghalangi pikiran prkerjaan. Kerja pikiran ada
siotak oleh karna itu tidaada satu kekuatanpun, baik raja maupun pengusaha,
negara manapun, yang bisa menghalaangi seseorang untuk berpikir, apalagi
mengatur atau menyeragamkannya, sepanjang seseorang itu dalam keadaan sehat
wal’afiat, sehingga meskipun seseorang itu dipenjara, tetap saja pikirannya
dapat bekerja.
Sedangkan kata
islam,secara semantik berasal dari akar kata salima artinya menyerah, tunduk
dalam selamat. Islam rtinya menyerah diri pada allah dan dengan menyerahkan
diri kepedanya maka iya memperoleh
keselamatan dan kedamaian dalam pengertian menyerah, maka semua mahluk ciptaan
allah, gunung samudera, udara, air, cahaya dan bahkan setan (karna itu setan
bukan musuh allah, tetapi musuh manusia) pada hakikatnya adalah islam, dalam
arti tunduk dan menyerah kepada penciptanya pada hukum-hukum yang sudah
ditetapkan dan berlaku padadirinya, sebagai sunnatullah (termasuk hukum alam).
jadi filsafat, islamic psilosophy, pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak islami.
jadi filsafat, islamic psilosophy, pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak islami.
Islam menempati sebagai corak dan karakter dari filsafat. Filsafat
islam bukan filsafat tentang islam, bukan the philosophy of islam. Filsafat
islam artinya berpikir bebes, radikal dan berada pada taraf makna, yang
mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian
hati. Dengan demikian, filsafat islam berada dengan menyatakan keberpihakannya
dan tidak netral.
Filsafat islam
tidaklah semata-mata bersifat rasional, yang hanya bersandar analisis logis
terhadap suatu peristiwa, tetapi juga jejak spiritual untuk memasuki dimensi
kegaiban. Rasionalitas filsafat islam terletak pada kemampuannya menggunakan
potensi berfikir secara bebas radikal dan berada pada dataran makna, untuk
menganalisis fakta-fakta empirik dari suatu kejadian, dalam bangunan sistem
pengetahuan yang ilmiah. Sedanfkan transendensinya terletak pada kesanggupan
mendayagunakan qaib, intuisi imajinatif, untuk menembus dan menyatu, dan
menjadi saksi kehadiran allah dalam realitas kehidupan.
B.
Ontologi
Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani: On = being, dan Logos = logik. Jadi Ontologi adalah The theory
of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Persoalan ontologi sebagai salah satu cabang dari fisafat yang
ingin mencari dan menemukan hakikat dari sesuatu yang ada, adalah merupakan
persoalan filsafat yang paling tua.Hal itu barang kali bermula karena kehidupan
manusia adalah dilahirkan dan berada dalam lingkungan yang ada sebelumnya tanpa
campur tangan sedikit pun darinya.Secara individual,seseorang lahir oleh proses
di luar dirinya, ia sudah ditentukan dan mau tidak mau harus menerima keadaan
yang tidak mungkin ia pilih sebelumnya,demikian juga dengan jenis kelamin yang melekat pada dirinya serta
ibu yang mengandungnya, semuanya itu sama sekali bukan pilihan dirinya
sendri.Oleh karnanya,ia serta merta berhadapan dengan kenyataan- kenyataan lain
di luar dirinya .Kenyataan-kenyataan itu beraneka ragam,berubah dan rusak atau
tiada.kenyataan-kenyataan itu tidak tergantung padanya dan mempunyai
mekanismenya sendiri, diluar kecenderungan-kecenderungan dirinya.
Sejalan dengan perkembangannya, usaha pencarian terhadap hakikat
sesuatu yang ada (ontologi) akan memberikan makna terhadap kehidupannya
sendiri, yang hanya dapat berlangsung di tengah-tengah komunikasi dan interaksi
yang kompleks dengan berbagai yang ada dalam kehidupannya itu.Melalui
pemahamannya tentang hakikat yang ada, maka seseorang dapat menempatkan dirinya
pada posisi yang tepat dalam mewujudkan hubungan komunikasi dan interaksi
dengan yang ada di sekitarnya, sehingga dapat berjalan secara lebih baik.
Paham wujud
(ontologi) yang benar menurut Islam, adalah yang mendasari paham
manusia tentang alam (kosmologi). Kosmologi Islam, adalah ilmu tentang ”kaun”,
alam fisikal. Alam ini selalu bergantung kepada Allah Swt.
Setiap titik
alam selalu merujuk dan menjadi ayat kepada Tuhannya. Jika kita melihat dalam pandangan ini hukum sebab akibatpun tidak bisa
diakui. Konsep sebab-akibat mengimplikasikan proses yang independen dari Tuhan.
Padahal tidak bisa demikian, karena hakekatnya semua yang ada tetap dibawa
kuasa Allah sebagai sang pencipta dan yang mengatur alam semesta ini, bukan
akibat di bawah dari sebuah sebab atau akibat dibawah akibat.
Guna
menafikkan hukum sebab-akibat ini, merujuk kepada ulama’ besar dan tokoh
filosof islam yakni Al-Ghazali. Ia mencontohkan bahwa peristiwa A (makan) dan B
(kenyang) bukanlah sebab akibat. A dan B kejadiannya memang diatur terjadi
serentak oleh Allah. Keduanya sama-sama diinginkan oleh Allah. Itulah hukum
hukum kebiasaan yang diturunkan Allah. Karena orang yang makan nasi
biasanya kenyang , tapi ada juga yang tidak kenyang, yang mungkin adat itu
suatu waktu memang dicabut oleh Allah. Maka sunnatullah fil ardhi tidaklah dharuri (mesti).
C.
Epistemologi
Epistemologi
secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui, apa
itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema
pembahasan epistemologi. Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari
bahasa Yunani, episçmç yang bermakna knowledge, pengetahuan, dan logos yang
bermakna teori. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F.
Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi
(Yunani: on = being, wujud, apa + logos = teori) dan epistemologi. Jika
ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi
membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas
pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa
dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2)
bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu,
sedangkan yang kedua pada metodologi.
Setidaknya ada tiga model berfikir yang umum dipakai oleh banyak kalangan
manusia. Berikut akan kami uraikan tiga model berpikir yang umum dipakai dalam
studi (kajian) islam, oleh al-Jabiri yakni :
1.Model Linguistik atau tekstual (bayani),
2.Model Demonstratif (Burhani), dan
3.Gnostik atau intuitif (`Irfani).
A. Epistemologi Bayani
Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan
cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks
dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an
dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun
corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari
(apa) isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik yang muncul
terhadap epistemologi bayani yang dianggap menjadi titik kelemahan dari
epistemologi ini. Diantaranya adalah :
1)
Epistemology ini menempatkan teks yang dikaji
sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan
diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan apalagi
ditolak.
2)
Teks yang dikaji pada epistemology bayani tidak
didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas aslinya berbeda
dengan historitas kita pada zaman global, post industry dan informatika,
meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini untuk diberlakukan
pada masa kini yang berbeda konteks.
3)
Kajian dalam model epistemology bayani ini tidak
diperkuat dengan analisis konteks, bahkan konstektualisasi (relevansi).
Sebenarnya model berpikir semacam ini sudah
lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Mereka
banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna
yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini
dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir
pula; dan
b) mengambil istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an
khususnya.
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan,
epistimologi bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang
didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh
menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal
makna yang terkandung di dalamnya.
Untuk itu
epistemologi bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu bahasa
dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai
metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci
yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asli, far'I, lafz ma'na,
khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf).
Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan :
Ø Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan
mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani
baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin
maupun tasdiq;
Ø Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan
mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan
makna bathil;
Ø Bayan al-ibarah yang terdiri
dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan
al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
Ø Bayan al-kitab, maksudnya media
untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz,
katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam epistemologi bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka
peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks
yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan
memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki
kelemahan. Hanya sekedar memperjelas titik kelemahan dari epistemology
bayani yang kami sebutkan di atas, kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah
ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa,
atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya
berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima
oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap
mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini muncul
suatu konsep atau sikap, pemahaman dengan semboyan kurang lebih :
"right or wrong is my country"
(dalam konteks ini tentu
diterjemahkan : salah atau benar, yang penting inilah agama saya).
B. Epistemologi
Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari
indera, percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau
benarnya sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa
pengalaman dan akal tanpa teks wahyu suci,
yang memuncukan peripatik. Maka sumber
pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang berkaitan
dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil
penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di labolatorium maupun di
alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social. Corak model berpikir yang
digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian
empiris.
Mengenai model berpikir bayani dan burhani Van
Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca
indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah
pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan
kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan
rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan
rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)
dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun
teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Dari pendapat tersebut kita seharusnya bisa
mengambil sikap terhadap kedua epistemology bayani dan epistemology burhani,
bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh mengambil atau memilih salah
satu diantara keduanya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem social dan
dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan
ini muncul nalar aduktif, yakni mencoba untuk memadukan model berpikir deduktif
dan model berpikir induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat
konstektual terhadap nash dan hasil penelitian-penelitian empiris justru kelak
melahirkan ilmu islam yang sempurna dan lengkap (konprehensif), luar biasa, dan
kelak dapat menuntaskan problem-problem masa kini khususnya di Indonesia.
Lepasnya
pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu
Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah
talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini, pada
akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai
Hermaneutika Otoriter (Authoritharian hermeneutic).Hermeneutika Otoriter
terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif
dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam
(kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan
realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks)
berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri,
ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus
darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat
(kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai
kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks
sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu :
1.
Ilmu
al-lisan, yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya
dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara
merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya
adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan
mengenai lafz tersebut. dan
2.
Ilmu
al-mantiq, yang membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat
menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara
segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan
gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan
aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara
mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada
sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-thani.
ü Falsafat
al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir
(jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah,
dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq
(sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang
berlaku pada manusia).
ü Sedangkan
falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1)
hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (al-sunnah
al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu
gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang
bersifat plural (mutanawwi'ah). Gerak itu
dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau
berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat
al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat
abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu,
pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi
ilmu-ilmu sosial (social science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora
(humanities, al-'ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi
pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena
itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman,
menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi
(sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan
sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran
Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi
antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku
keberagaman dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita
bisa melakukan reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat untuk
mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya
Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan
pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi
pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia
Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta
masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah,
strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan
juga
Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk
mengetahui konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu
kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ada
kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya
pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Kelemahan dan kendala yang sering dihadapi dalam
penerapan pendekatan burhani ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan
realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam permasalahannya ada yang
diutamakan antara teks atau konteks. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat
lebih banyak memenangkan tekstualitas daripada kontekstualitasnya, meskipun
yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
C. Epistimologi
Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain
: 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum
Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para
ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan
al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk
memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang
dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun
untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan
istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman
yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan
intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi.
Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan
indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi
disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan
menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini
mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8,
dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal.
Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi.
Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari
mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru
membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka
lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang
batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah
al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa
sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari
makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan
'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin.
Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu
memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi
tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan
pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan
makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah
al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam
ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan
ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz
Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan
'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna
batinnya.
Contoh
konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang
pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif
harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan
tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan,
bahkan akan mencapai al-hikmahal-haqiqah.Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam
menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun
dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang
akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani
bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya,
setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri,
maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat
partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam
tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk
memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk
sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan
pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya
pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan
struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh
orang lain.
Implikasi
dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri
agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan
mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang
lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki
substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan
transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan
dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan,
pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
D.
Aksiologi
Secara bahasa, aksiologi berasal dari kata ‘axios’ dalam bahasa
yunani artinya nilai, dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, dapat
diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah ‘ilmu tentang nilai’.
AKSIOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
kata “ilmu” secara etimologis
dalam berasal dari bahasa Arab (علم) mengandung arti mengetahui, mengenal
memberi tanda dan petunjuk yang berantonim dari makna naqid al-jahl (tidak
tahu). Karena itu, dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara
praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis tentang
masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.
Untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ilmu secara terminologi. Dalam hal ini menurut John Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang memiliki obyek tertentu. Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang sesuatu. Selanjutnya menurut Al-Qadhi ‘Abd. Al-Jabbar bahwa العلم يقتضى سكون العالم الى ماتناوله (ilmu adalah suatu makna yang dapat menentramkan hati bagi seorang alim terhadap apa yang telah dicapainya). Pengertian ini mengindikasikan adanya ketentraman dan ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada mereka yang bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dalam pandangan Imam al-Gazali bahwa العلم هو حصول المثال فى القلب (ilmu itu adalah tejadinya gambaran di dalam hati).
Pengertian ini mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam hati, bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati saja. Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dariبصيرة yang di dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu البصيرة البطنية yaitu akal dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan untuk merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan. Pengertian ini megindikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis secara konprehensif.
Dari beberapa pengertian ilmu yang telah disebutkan di atas, maka dapat dipahami bahwa batasan ilmu merujuk pada hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Lebih lanjutnya menurutnya bahwa, Ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasai.
Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan ‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik. Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.
Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan “nilai” kiranya mempunyai macam-macam mak
na seperti (1) mengandung nilai, artinya berguna; (2) merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah; (3) mempunyai nilai artinya merypakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebab-kan orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu; (4) memberi nilai artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu. Nilai ini terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat tentang keindahan serta keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya. Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab moral. Tanggungjawab ilmiah adalah sejauhmana ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik secara korehen-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi berdasarkan tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk mengejarkan kebohongan, dna hal-hal negatif lainnya.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
Sejak awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad adalah “iqra’” atau perintah untuk membaca. Jibril memerintah Muhammad untuk membaca dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari kata iqra’ inilah, umat Islam diperintah untuk membaca yang kemudian lahir makna untuk memahami, mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun mengetahui dengan dilandasi “bismi rabbik”, dalam arti, hasil-hasil bacaan dan pemahaman itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan (Shihab, 2001:433). Al Qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang seluas-luasnya (Achmadi, 2005:33)
Ilmu pengetahuan dalam sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, melainkan pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya.Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh. Eksistensi ilmu pengetahuan bukan saja untuk mendesak pengetahuan, melainkan kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Yang Maha Pencipta. Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya, dan agama yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau kemudahan-kemudahan pada material duniawi. Solusi yang diberikan Al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa mudharat atau penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu tidaklah bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi bukan hanya penggabungan ilmu dan agama saja. Akal digunakan dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan menimbulkan logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual atau ilmuwan. Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur’an agar tidak bebas nilai. Nilai dalam Islam tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya tetapi berdasarkan wahyu dan kehendak Allah. Melakukan yg wajib adalah diperintah oleh Allah dan disukaiNya sehingga mendapat ganjaran kebajikan. Adapun jika melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka pantas baginya balasan yang buruk.
Untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ilmu secara terminologi. Dalam hal ini menurut John Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang memiliki obyek tertentu. Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang sesuatu. Selanjutnya menurut Al-Qadhi ‘Abd. Al-Jabbar bahwa العلم يقتضى سكون العالم الى ماتناوله (ilmu adalah suatu makna yang dapat menentramkan hati bagi seorang alim terhadap apa yang telah dicapainya). Pengertian ini mengindikasikan adanya ketentraman dan ketenangan jiwa apabila berhasil dalam pencariannya. Walaupun demikian, pengertian ini (menurut penulis) hanya berlaku kepada mereka yang bergelut dalam ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dalam pandangan Imam al-Gazali bahwa العلم هو حصول المثال فى القلب (ilmu itu adalah tejadinya gambaran di dalam hati).
Pengertian ini mengindikasikan bahwa gambaran esensi sesuatu itu ada di dalam hati, bukan berarti yang dimaksud di sini hanya semata-semata hati saja. Al-Gazali menganggap bahwa hati adalah bagian dariبصيرة yang di dalamnya tercakup akal. Berdasarkan hal ini maka ia mengembalikan pengertian ilmu ke dalam dua komponen yaitu البصيرة البطنية yaitu akal dan hati, hakikat atau esensi sesuatu sebagai obyek pokok dan cara terjadinya gambaran sesuatu itu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan untuk merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan. Pengertian ini megindikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis secara konprehensif.
Dari beberapa pengertian ilmu yang telah disebutkan di atas, maka dapat dipahami bahwa batasan ilmu merujuk pada hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Lebih lanjutnya menurutnya bahwa, Ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasai.
Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas mengindikasikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan aksiologi. Dalam hal ini, Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan ‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik. Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.
Berbicara mengenai nilai itu sendiri dapat kia jumpai dalam kehidupan seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan curang. Hal itu semua mengandung penilaian karena manusia yang dengan perbuatannya berhasrat mencapai atau merealisasikan nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Secara singkat dapat dikatakan, perkataan “nilai” kiranya mempunyai macam-macam mak
na seperti (1) mengandung nilai, artinya berguna; (2) merupakan nilai, artinya baik atau benar, atau indah; (3) mempunyai nilai artinya merypakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebab-kan orang mengambil sikap menyetujui, atau mempunyai sifat nilai tertentu; (4) memberi nilai artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu. Nilai ini terkait juga dengan etika dan nilai estetika. Nilai etika adalah teori perbuatan manusia yang ditimbang menurut baik atau buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan nilai estika adalah telaah filsafat tentang keindahan serta keindahan, dan tanggapan manusia terhadapnya. Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan karena menyangkut tanggung jawab, baik tanggung jawab pada diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan.
Ilmu pengetahuan pun mendapatkan pedoman untuk bersikap penuh tanggung jawab, baik tanggungjawab ilmiah maupun tanggungjawab moral. Tanggungjawab ilmiah adalah sejauhmana ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk memperoleh kebenaran obyektif, baik secara korehen-idealistik, koresponden realistis maupun secara pragmatis-empirik. Jadi berdasarkan tanggungjawab ini, ilmu pengetahuan tidak dibenarkan untuk mengejarkan kebohongan, dna hal-hal negatif lainnya.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
Sejak awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad adalah “iqra’” atau perintah untuk membaca. Jibril memerintah Muhammad untuk membaca dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari kata iqra’ inilah, umat Islam diperintah untuk membaca yang kemudian lahir makna untuk memahami, mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun mengetahui dengan dilandasi “bismi rabbik”, dalam arti, hasil-hasil bacaan dan pemahaman itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan (Shihab, 2001:433). Al Qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang seluas-luasnya (Achmadi, 2005:33)
Ilmu pengetahuan dalam sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, melainkan pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya.Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh. Eksistensi ilmu pengetahuan bukan saja untuk mendesak pengetahuan, melainkan kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Yang Maha Pencipta. Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya, dan agama yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau kemudahan-kemudahan pada material duniawi. Solusi yang diberikan Al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa mudharat atau penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu tidaklah bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi bukan hanya penggabungan ilmu dan agama saja. Akal digunakan dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan menimbulkan logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual atau ilmuwan. Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur’an agar tidak bebas nilai. Nilai dalam Islam tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya tetapi berdasarkan wahyu dan kehendak Allah. Melakukan yg wajib adalah diperintah oleh Allah dan disukaiNya sehingga mendapat ganjaran kebajikan. Adapun jika melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka pantas baginya balasan yang buruk.
seorang ilmuwan muslim tidak hanya
diharapkan berkata benar,namun juga baik,indah dan bernilai, misalnya jika
seorang ilmuwan sekuler berkata bahwa untuk bebas dari penyakit kelamin harus
memakai kondom jika berhubungan dengan pelacur, maka ilmuwan muslim berkata
bahwa berhubungan dengan pelacur itu dilarang dalam islam. Contoh lain dari
kebenaran akal yang tidak beretika moral misalnya menceraikan istri yang tidak
dapat memberi anak, sistem perang atau jihad yang tidak berperikemanusiaan,
menampar murid yang tidak bisa menjawab soal, dan lainnya.
Prinsip-prinsip semua ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan keutamaan menuntut ilmu, dan pencarian ilmu apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid. Dalam perjalanan ilmu dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim berangkat dari membaca Al Qur’an dalam proses penemuannya, misalnya Abu Musa al Jabir ibn Hayyan (721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (780-850), Tsabit ibn Qurrah (9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah (1304-1377), Ibn Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya (Achmadi, 2005:12).
Prinsip-prinsip semua ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada dalam Al Qur’an, dan Al Qur’an dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan keutamaan menuntut ilmu, dan pencarian ilmu apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid. Dalam perjalanan ilmu dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim berangkat dari membaca Al Qur’an dalam proses penemuannya, misalnya Abu Musa al Jabir ibn Hayyan (721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (780-850), Tsabit ibn Qurrah (9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah (1304-1377), Ibn Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya (Achmadi, 2005:12).
DAFTAR PUSTAKA
Amroeni drajat, filsafat illuminasi,
jakarta, radar jaya pratama, 2001
Musa asya’ari, filsafat islam, yogyakarta,
lasfi, 2012
Amin abdullah, falsafah islam di era
postmodernisme, yogyakarta, pustaka pelajar, 1997
http:// Sir_AnwarHabibiBlog.htm/2013/04/Epistemologi
Bayani,BurhanidanIrfani(3-sempurna).html
/waktu akses : 13 oktober 2013
http://abdulwahid_haris.blog.htm/2012/05/aksiologi-dalam-perspektif-islam-dan-umum.html
/waktu akses : 13 oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar