MAKALAH
Fiqh
Munakahat (Iddah)
Diajukan untuk memenuhi sebuah tugas kelompok
Mata Kuliah Ilmu Fiqh yang dibimbing oleh:
M. Ishaq M.Ag
Oleh
kelompok III :
Ø
Tanzila
Nur Dwinda (083133125)
Ø
Anang
Kusuma (083133129)
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH (PS)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JEMBER
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji dan rasa
syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa
mencurahkan rahmatNya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga senantiasa
penulis limpahkan kepada nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan banyak
terima kasih kepada dosen yang bersangkutan telah memberikan kesempatan waktu
untuk penyelesaian makalah ini dan dengan limpahan rahmat dan karunia Allah
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah ilmu fiqh yang
berjudul “Iddah” dapat
terselesaikan tepat pada waktunya untuk memenuhi
tugas kelompok pada mata kuliah ilmu fiqh.
Makalah
ini
kami susundenganoptimal, namuntidakmenutupkemungkinan adanyakekurangan.
Olehkarenaitu, kami sangat mengharapkan kepada
seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kemajuan dalam
berfikir untuk penulis agar makalah ini dapat lebih sempurna lagi dan benar.
Akhirnya kepada Allah jugalah penulis minta ampun,
semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya.
Aamiin
Jember, 08 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1 Latar
Belakang................................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah............................................................................................. 1
1.3 Tujuan
Penelitian............................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
2.1 Pengertian
Iddah............................................................................................... 2
2.2 Macam
– macam Iddah.................................................................................... 3
2.2.1
Iddah
Talaq............................................................................................... 3
2.2.2 Iddah Hamil .............................................................................................. 5
2.2.3 Iddah Wafat .............................................................................................. 5
2.2.4 Iddah Wanita yang
Kehilangan Suami ..................................................... 5
2.2.5 Iddah Wanita yang
di Ila’ ......................................................................... 6
2.2
Hikmah Iddah................................................................................................. 6
2.3
Tujuan Iddah.................................................................................................. 8
2.5 Hak
dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah...................................... 8
2.6
Larangan Bagi Wanita yang Menjalani Iddah............................................. 10
2.7Hukum Iddah.................................................................................................... 11
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 12
3.1 Simpulan............................................................................................................ 12
3.2 Saran.................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.2
Latar Belakang Masalah
Seks merupakan
kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau sebaliknya. Ia
merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut untuk dipenuhi.Pernikahan
merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan
hubungan suami istri. Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk
pemenuhan kebutuhan biologis manusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain
yang lebih mulia sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 1 yang berbunyi, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Di dalam pernikahan
dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan
keutuhan rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa
rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga.
Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian.
Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat
dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum
yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga
yang utuh. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya
kewajiban bagi seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain
disebut “masa tunggu”.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian iddah?
2.
Ada
berapa macam – macam iddah?
3.
Apa
hikmah iddah?
4.
Apa
tujuan iddah?
5.
Apa
hak dan kewajiban dalam iddah?
6.
Apa
saja larangan saat beriddah?
7.
Apa
hukum iddah?
1.3
Tujuan Penelitian
Memahami dan mengerti apa pengertian iddah, fungsi,
dan hikmahnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Iddah
Kata iddah berasal dari
bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. Menurut istilah Fuqaha’ Iddah berarti
masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain. Para ulama
memberikan pengertian iddah sebagai berikut :
1. Syarbini
Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah adalah nama masa
menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau
karena sedih atas meninggal suaminya.
2. Drs.
Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah adalah masa
yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan
rahimnya sesudah bercerai.
3. Prof.
Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah adalah suatu masa penantian
seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai
darinya.
4. Sayyid
Sabiq memberikan pengertian iddah adalah masa lamanya bagi perempuan (istri)
menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.
Allah berfirman:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثه
قروء........ (البقرة : 228)
Artinya: “Wanita yang di tholak hendaknya menahan diri
menunggu (tiga kali kuru’)”…. (al-Baqoroh [2]: 228)
Nabi Muhammad bersabda kepada Fatimah binti Qais:
وقوله صلى الله عليه وسلم لفاطنة بنت قيش : إعتدي في بيت
ابن أم مكتوم
Artinya: “Beriddahlah kamu di rumah Ibnu ummi maktum”
Dari
pengertian diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Iddah adalah masa menanti atau menunggu
yang diwajibkan atas seorang perempuan yang diceraikan oleh suaminya (cerai
hidup atau cerai mati), tujuannya untuk mengetahui kandungan perempuan itu
berisi (hamil) atau tidak serta untuk menunaikan satu perintah
dari Allah SWT.
2.2
Macam
– macam Iddah
2.2.1
Iddah Talak
Iddah talak adalah terjadi karena
perceraian, perempuan yang berada dalam iddahtalak antara lain:
a)
Perempuan yang telah di campuri dan
ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali
Quru’).
Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا
إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ
دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة : 228)
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.(Q.S. al baqarah:228)
Mengenai quru’ para ulama’ fiqih berpendapat
berbeda-beda:
1)
Fuqaha berpendapat bahwa quru’ itu
artinya suci yaitu masa diantara haid.
2)
Fuqaha lain berpendapat bahwa quru’
itu haid, terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ats-tsauri Al-Auzali, Ibnu Abi Laila.
Alasanya adalah untuk mengetahui kolongnya rahim, tidak hamil bagi wanita yang
di talak, sedangkan kekosongan rahim hanya di ketahui dengan haid.
3)
Fuqaha Anshor berpendapat bahwa
quru’ adalah suci terdiri dari Imam Mahit dan Syaf i’. alasanya adalah menjadi
pedoman bagi kosongnya rahim dimana masa suci pada haid bukan bukan
berarti berpegang pada haid terakhir maka tiga yang di syaratkan harus lengkap
masa suci diantara 2 haid.
Nabi SAW bersabda :
مرة فليراجعها حتى يحيض شمّ تطهر ثحيض
حتى تطهر شمّ يطلقهاان شآء قبل ان يمسّها
Artinya
: “Suruhlah dia, hendaklah ia merujuk istrinya sehinggah iahaid, kemudian
suci kemudian haid lagi kemudian menceraikanya juga mau sebelum ia
menyentuhnya. Demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Alloh SWT untuk
menceraikan istri”.
b)
Perempuan yang dicampuri dan tidak
haid baik ia perempuan belum balig atau perempuan tua yang tidak haid, maka
iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan, jika tertalak dapat bertemu pada
permulaan bulan.
والىء يئسن من المحيضى من نسائكم ان
ارتبتم فعرّتهن ثلثة اشهر واّلئ لم يحض (الطلاق :4)
Artinya :
“Dan perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan jika kamu ragu
(tentang masa iddahnya) maka iddah mereka untuk tiga bulan, dan begitu
pula perempuan yang tidak haid.”(Q.S. At Talak : 28 :4)
c)
Perempuan-perempuan yang tertalak
dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada iddahnya.
Firman Allah SWT :
ياايهاالذين امنوااذانكحتم المؤمنت
ثمّ طلقتموهنّ من قبل ان لاتمسوهنّ فما لكم عليهنّ من عرة تعتر
ونها (لللاحزاب :94)
Artinya : ‘’Hai orang-orang yang beriman apabila kamu
menikahi perempuan yang beriman, kemudian k-moe ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimoe yang kamu
minta menyempurnakanya (Q.S Al Ahzab (22):49)
Jika perempuan belum pernah di
setubuhi dan di tinggal mati maka iddahnya seperti iddahnya orang i’lah di
setubuhi’’
Firman Allah SWT :
والذين يتوفّون منكم ويذرون ازوجا
يتربصن بانفسهنّ اربعة اثهر وعشرا
Artinya : “Orang-orang yang meninggal
dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaknya para istri itu)
menangguhkan dirinya (عدة) untuk
4 bulan 10 hari” (Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234)
2.2.2
Iddah Hamil
Yaitu iddah
yang terjadi apabila perempuan-perempuan yangdiceraikan itu sedang hamil,
iddahnya samapai melahirkan.
Firman Allah SWT :
واولت للأجمال اجملهن ان يضعن حملهنّ ومن يتق الله يجعل له من امره يسرا
(الطلاق :4)
Artinya : “Dan
perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampaimereka melahirkan
kandunganya . dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh
menjadikan baginya kemudian dalam urusnya”. (Q.S. At-talaq 28 : 4)
Apabila ia hamil dengan anak kembar
maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua jika perempuan itu
keguguran maka iddahnya ialah sesudah melahikan baik baginya hidup, mati,
sempurna badanya / cacat, ruhya telah ditiup /belum.
2.2.3
Iddah Wafat
Iddah wafat
adalah iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal mati
suaminya dan masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari.
Firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة : 234)
Artinya : “Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-Baqoroh:
234)
2.2.4
Iddah Wanita
yang Kehilangan Suami
Seseorang
perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan suami, apakah
dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di menunggu selama 4 tahun lamanya
sesudah itu hendaknya dia beriddah 4 bulan 10 hari.
عن عمر رضي
الله عنه قال : أيما امرأة فقدت زوجها لم ندر أين هو فإنها تنتظر أربعة سنين ثم
تعتد أربعة أشهر وعشرا ثم تحل.
Artinya: “Dari Umar R.A berkata:
bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana ia
berada sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu 4 tahun, kemudian hendaknya ia
beriddah 4 bulan 10 hari barulah ia boleh menikah. (H.R Malik)
2.2.5
Iddah Wanita
yang di Ila’
Bagi
perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani
iddah atau tidak, diantaranya:
a)
Jumhur Fuqoha’ mengatakan bahwa ia
harus menjalani Iddah.
b)
Zabir bib Zaid berpendapat bahwa ia tidak
wajib iddah.
Perbedaan pendapat ini di sebabkan
iddah itu menghabungkan antara iddah dan maslahat bersama-sama. Oleh karena itu
bagi fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi kemaslahatan, mereka tidak memandang
perlu adanya iddah, sedangkan fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi ibadah maka
mereka mewajibkan iddah atasnya.
2.3 Hikmah Iddah
Sebagai peraturan yang dibuat oleh
Yang Maha Mengetahui, aturan tetntang ‘iddah pastimempunyai rahasia serta
manfaat tersendiri.Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita rasakan, namun
acapkali baru kita rasakan setelah kejadian lama berlalu. Al-Jurjawy mengatakan
sebagai berikut:
1. Kita dapat mengetahui kebersihan rahim
si wanita yang telah ditalak atau karena kematian suami. Kalau tidak ada
syari’at tentang ‘iddah, si wanita dapat langsung menikah dengan laki-laki
lain, sehingga terjadi percampuran keturunan dan menghasilkan generasi yang
samar. Tujuan dharury Hukum Islam yitu hifdzun nasli atau memelihara keturunan
tidak akan tercapai.
2. Memperpanjang masa kembali bagi suami
pertama (untuk meruju’ mantan istri) dalam kasus talak raj’i. Menurut penulis
inilah yang menjadi yang menjadi esensi dari syari’ tentang ‘iddah ini, yaitu
dalam upaya menyelamatkan institusi perkawinan dari kehancuran yang lebih
fatal. Nasa tenggang waktu yang relative lama hendaknya dipergunakan untuk
instrokpeksi diri, menyadari kekeliruan, memaafkan kesalahan istri atau
suaminya dan harapan bersatuya mereka kembali melalui ruju’, menyambung kembali
silaturrahmi yang nyaris putus.
3. Masa berkabung bagi istri yang ditinggal
mati suami dan digunakan untuk sedikit mengenang kembali kenangan lama dengan
suaminya. Sangat tidak etis, seandainya sang istri dengan cepat melangsungkan
perkawinan dengan laki-laki lain, sementara sang suami baru saja meninggalkan dirinya.
Oleh karena itu, ‘iddah bagi wanita yang ditinggal suami adalah masa berkabung.
4. Sutu masa yang harus dipergunakanan oleh
calon terutama suami yang akan menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk ke
dalam kehidupan si wanita yang baru dicerai mantan suaminya. Ada kemungkinan si
wanita masih memiliki persoalan, mungkin masalah harta atau yang lainnya.
Biarkan mereka selesaikan pada masa ‘iddahnya sampai semua persoalan dengan
mantan suaminya telah selesai. Seandainya
kita (suami kedua) masuk disaat persoalan dengan suami pertama belum selesai,
hal itu dapat merunyamkan keadaan. Bahkan, mungkin terjadi suami pertama tadi –
karena cemburu – akan cepat meruju’nya kembali walaupun itu hanya sekedar kesesalan akibat ulah calon
si suami kedua yang nekat dan terburu-buru tadi.
5.
Iddah sebagai ta’abbudi kepada
Allah. Pelaksanaan beriddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk
kepada aturan Khaliknya yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu,
merupakan kewajiban bagi wanita muslim untuk mentaatinya. Apabila wanita muslim
yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati. Disana ada
tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi dengan laki-laki lain.
Kemauan untuk mentaati aturan beriddah inilah yang merupakan gambaran ketaatan,
dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu.
Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat beriddah
sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati dan
berdosa bila dilangar dari Allah SWT.
6. Menjunjung tinggi masalah perkawinan
yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang yang arif mengkaji masalahnya dan
memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberikan kesempatan demikian,
maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar
lagi dirusaknya.
2.4
Tujuan
Iddah
Sebagaimana pertanyaan yang sering
dipertanyakan, kenapa seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya baik
karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia diwajibkan beriddah,
dan kenapa pula harus selama itu masa iddahnya.Adanya iddah itu ada beberapa
tujuan diantaranya sebagai berikut.
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
1. Bagi suami mempunyai kesempatansaat
berfikir untuk memilih antara rujuk dengan istri atau melanjutkan talak yang
telah dilakukan.
2. Bagi istri mempunyai
kesempatan saat untuk
mengetahui keadaan sebenarnya yaitu sedang hamil
atau tidak sedang hamil.
3. Sebagai masa transisi.
Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menunjukkan betapa pentingnya
masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
2. Peristiwa perkawinan yang demikian
penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal.
3. Dalam perceraian karena ditinggal mati,
iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama
keluarga suami.
4. Bagi perceraian yang terjadi antara
suami istri yang pernah melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk
meyakinkan kekosongan rahim.”
2.5
Hak
dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
1. Para fuqoha sepakat bahwa istri yang
berdara pada talak raj’i mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal. Hak yang sama
juga diberikan kepada wanita yang hamil sampai melahirkan. Ketentuan ini
didasarkan Firman Allah SWT :
اَسْكِنوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلاَتُضَاْرُوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ وَاِنْ كُنَّ اُولتِ حَملٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ ( الطلاق : 6 )
Artinya :“Tempatkanlah mereka (para istri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah
ditalak) itu hamil, maka berikanlah mereka nafkah hingga mereka melahirkan
kendungan”(Q.S. Ath-Thalaq : 6)
2.
Bagi
istri yang ditalak ba’in, terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengharuskan
nafkah dan tempat tinggal, sebagian lagi meniadakan semua pemberian tersebut
dan sebagian lainnya hanya memberikan tempat tinggal saja tanpa nafkah. Mereka
yang meniadakan nafkah dan tempat tinggal bagi tertalak ba’in mendasar
pendapatnya pada hadis dari Ibnu Abbas dan Ali r.a sebagai berikut :
اِنَّمَا
السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ لِمَنْ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ
Artinya :“Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda
‘Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah hanya bagi wanita yang ditalak raj’I’”
Mereka yang memberikan tempat
tinggal saha mendasarkan pendapatnya pada hadis Fatimah yang diriwayatkan Imam
Malik dalam Muwaththa :
لَيْسَ
لَكِ عَلَيْهَا نَفَقَةٌ
Artinya :
“Berkata Rasulullah
SAW, ‘ Tidak ada bagimu atasnya nafkah’”
Dalam hadist tersebut tidak
disebutkan mengenai tempat tinggal.Mereka berpendapat dengan tidak disebutnya
berarti tempat tinggal tetap diberikan kepada mereka.Adapun bagi mereka yang
mewajibkan keduanya beralasan keumuman Ath thalaq ayat 6.
3.
Perempuan dalam iddah wafat, mereka
tidak mempunyai hak sama sekali meskipun ia mengandung, karna ia dan anak yang
berada dalam kandungannya telah mendapat pusaka dari suaminya yang meninggal
dunia itu.
Seperti Sabda Rasulillah Saw:
“
Janda hamil yang kematian suaminya tidak berhak mendapat nafkah.”( Riwayat
Daruqutni)
Polemik para ulama
bahwa kewajiban suami meberikan tempat tinggal dan nafkah bagi istri yang
ditalak, terutama yang ditalak raj’I disebabkan pada waktu ‘iddah istri
tersebut tidak menerima dari orang lain, apalagi paitu tidak boleh dipinang
orang lain sebab hak suami masih melekat pada kasus talak raj’i. Seperti kita
ketahui, wanita dalam talak raj’i itu tidak boleh dipinang orang lain sebab hak
suami masih melekat pada wanita tersebut. Karena
itu, si istri tidak akan menerima sesuatu, kecuali dari mantan suaminya. Hak
yang dia miliki yang melekat pada mantan suami dan pada saat yang sama menjadi .kewajiban istri untuk
menaati hak suami yang masih melekat pada dirinya. Dia harus menyadari bahwa
mantan suaminya dalam kasus talak raj’i mempunyai hak kembali kepadanya, yang
tidak dipunyai orang lain.
2.6
Larangan Bagi Wanita yang Menjalani Iddah
Di
antara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
1. Tidak
boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk
sindiran.
2. Tidak
boleh menikah.
3. Tidak
boleh keluar rumah.
4. Tidak
Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad).
Seorang
wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau
bercantik-cantik. Dan di antara kategori berhias itu antara lain adalah:
·
Menggunakan alat perhiasan seperti
emas, perak atau sutera.
·
Menggunakan parfum atau wewangian.
·
Menggunakan celak mata, kecuali ada
sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
·
Memakai pewarna kuku seperti pacar
kuku (hinna‘) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
·
Memakai pakaian yang berparfum atau
dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning.
Di
dalam kitab Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq mengatakan:“Isteri yang
sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumahyang ia dahulu
tinggal bersama sang suami, hingga selesai masa ‘iddahnya. Dan tidak
diperbolehkan baginya keluar dan rumah tensebut.Sedangkan suaminya juga tidak
diperbolehkan untuk mengeluarkannya dari rumahnya.Seandainya terjadi perceraian
di antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah di mana mereka
berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada
suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya di mana ia berada.”
Sebagaimana
disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Ath-Thalaq ayat
pertama.
Apabila isteri yang dithalak itu melakukan perbuatan keji
secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu yang tidak baik bagi keluarga
suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut,
demikian menurut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga ditentang oleh Aisyah
Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan, Atha’, dan diriwayatkan
dan Ali dan Jabir; di mana Aisyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa kepada
isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan rumah pada saat menjalani
masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah bersama dengan saudara
perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah umrah,
yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.
2.7
Hukum Iddah
Perempuan yang bercerai dari
suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak,
masih berhaid atau tidak, hukumnya wajib menjalani masa iddah itu, sesuai
dengan firman allah swt. :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
Artinya : “Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.”(QS.
Al-Baqarah (2): 228).
Diantara
hadis nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang
disampaikan oleh aisyah menurut riwayah ibnu majah dengan sanad yang kuat yang
artinya : “nabi saw. Menyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali
haid.Dari ijma’ para ulamak juga sepakat wajibnya iddah sejak masa
Rasulullah saw. Ampai sekarang.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Iddah ialah satu masa dimana
perempuan yang telah di ceraikan, baik cerai hidup maupun cerai mati, harus
menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya kosong atau berisi kandungan.
Perempuan
yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang
hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, hukumnya wajib menjalani masa iddah
itu. Iddah terdiri dari beberapa macam
yaitu :
1. Iddah talak.
2. Iddah hamil.
3. Iddah wafat.
4. Iddah wanita yang kehilangan
suaminya.
5. Iddah perempuan yang di-Ila’.
Adapun Hikmah Iddah antara lain :
1. Kita
dapat mengetahui kebersihan rahim si wanita yang telah ditalak atau karena
kematian suami.
2. Memperpanjang
masa kembali bagi suami pertama (untuk meruju’ mantan istri) dalam kasus talak
raj’i
3. Masa
berkabung bagi istri yang ditinggal mati suami dan digunakan untuk sedikit
mengenang kembali kenangan lama dengan suaminya
4. Sutu
masa yang harus dipergunakanan oleh calon terutama suami yang akan menikahinya,
untuk tidak cepat-cepat masuk ke dalam kehidupan si wanita yang baru dicerai
mantan suaminya.
5. Iddah
sebagai ta’abbudi kepada Allah
6. Menjunjung
tinggi masalah perkawinan yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang yang arif
mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang.
Hak dan kewajiban suami istri pada masa Iddah
1.
Para fuqoha
sepakat bahwa istri yang berdara pada talak raj’i mempunyai hak nafkah dan
tempat tinggal.
2.
Bagi istri yang
ditalak ba’in, terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengharuskan nafkah dan
tempat tinggal, sebagian lagi meniadakan semua pemberian tersebut dan sebagian
lainnya hanya memberikan tempat tinggal saja tanpa nafkah.
3.
Perempuan dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama
sekali meskipun ia mengandung.
Di antara
yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
1. Tidak boleh menerima khitbah
(lamaran) dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk sindiran.
2.
Tidak boleh menikah
3.
Tidak boleh keluar rumah
4.
Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad)
3.2
Saran
Harapan kami semoga dengan selesainya makalah ini
dapat memenuhi kebutuhan materi bacaan, terutama bagi para mahasiswa syariah.
Namun, tidak menutup kemungkinan makalah ini bisa terselesaikan dengan
sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari para pembaca kami harapkan
terutama dari Bapak dosen pengampuh.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Drs. H. Rahmat.
2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum
Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Mardiana. 2011. Makalah
iddah.
Hasanah, Mauizatul. 2013. Makalah tentang iddah. http://mauilyadit.blogspot.com/2013/06/makalah-tentang-iddah.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar