Breaking News

Translate

Minggu, 22 Maret 2015

MAKALAH Fiqih Munakahat (Iddah)



MAKALAH
Fiqh Munakahat (Iddah)
Diajukan untuk memenuhi sebuah tugas kelompok
Mata Kuliah Ilmu Fiqh yang dibimbing oleh:
M. Ishaq M.Ag









Oleh kelompok III :
Ø Tanzila Nur Dwinda              (083133125)
Ø Anang Kusuma                      (083133129)





JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH (PS)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JEMBER
TAHUN AKADEMIK2013-2014





KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa mencurahkan rahmatNya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga senantiasa penulis limpahkan kepada nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang bersangkutan telah memberikan kesempatan waktu untuk penyelesaian makalah ini dan dengan limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah ilmu fiqh yang berjudul “Iddah” dapat terselesaikan tepat pada waktunya untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah ilmu fiqh.
Makalah ini kami susundenganoptimal, namuntidakmenutupkemungkinan adanyakekurangan. Olehkarenaitu, kami sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kemajuan dalam berfikir untuk penulis agar makalah ini dapat lebih sempurna lagi dan benar.
Akhirnya kepada Allah jugalah penulis minta ampun, semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Aamiin






Jember, 08 Oktober 2013

Penulis

 




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1  Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................. 1
1.3  Tujuan Penelitian............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
2.1  Pengertian Iddah............................................................................................... 2
2.2  Macam – macam Iddah.................................................................................... 3
2.2.1   Iddah Talaq............................................................................................... 3
2.2.2 Iddah Hamil .............................................................................................. 5
2.2.3 Iddah Wafat .............................................................................................. 5
2.2.4 Iddah Wanita yang Kehilangan Suami ..................................................... 5
2.2.5 Iddah Wanita yang di Ila’ ......................................................................... 6
2.2     Hikmah Iddah................................................................................................. 6
2.3     Tujuan Iddah.................................................................................................. 8
2.5 Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah...................................... 8
2.6  Larangan Bagi Wanita yang Menjalani Iddah............................................. 10
2.7Hukum Iddah.................................................................................................... 11
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 12
3.1  Simpulan............................................................................................................ 12
3.2  Saran.................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 14





BAB I
PENDAHULUAN

1.2         Latar Belakang Masalah
Seks merupakan kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut untuk dipenuhi.Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan biologis manusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain yang lebih mulia sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang berbunyi, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Di dalam pernikahan dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan keutuhan rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik keluarga. Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi perceraian. Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu menjadi keluarga yang utuh. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.
1.2     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian iddah?
2.      Ada berapa macam – macam iddah?
3.      Apa hikmah iddah?
4.      Apa tujuan iddah?
5.      Apa hak dan kewajiban dalam iddah?
6.      Apa saja larangan saat beriddah?
7.      Apa hukum iddah?
1.3         Tujuan Penelitian
Memahami dan mengerti apa pengertian iddah, fungsi, dan hikmahnya.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Iddah
Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. Menurut istilah  Fuqaha’ Iddah berarti masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain. Para ulama memberikan pengertian iddah sebagai berikut :
1.      Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.
2.      Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah adalah masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.
3.      Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah adalah suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.
4.      Sayyid Sabiq memberikan pengertian iddah adalah masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.
Allah berfirman:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثه قروء........ (البقرة : 228)
Artinya: “Wanita yang di tholak hendaknya menahan diri menunggu (tiga kali kuru’)”…. (al-Baqoroh [2]: 228)
Nabi Muhammad bersabda kepada Fatimah binti Qais:
وقوله صلى الله عليه وسلم لفاطنة بنت قيش : إعتدي في بيت ابن أم مكتوم
Artinya: “Beriddahlah kamu di rumah Ibnu ummi maktum”
Dari pengertian diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Iddah  adalah masa menanti atau menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang diceraikan oleh  suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya untuk mengetahui kandungan perempuan itu berisi (hamil) atau tidak serta untuk menunaikan satu perintah dari Allah SWT.

2.2       Macam – macam Iddah
2.2.1        Iddah Talak
Iddah talak adalah terjadi karena perceraian, perempuan yang berada dalam iddahtalak antara lain:
a)   Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru’).
Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة : 228)
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. al baqarah:228)
Mengenai quru’ para ulama’ fiqih berpendapat berbeda-beda:
1)    Fuqaha berpendapat bahwa quru’ itu artinya suci yaitu masa diantara haid.
2)    Fuqaha lain berpendapat bahwa quru’ itu haid, terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ats-tsauri Al-Auzali, Ibnu Abi Laila. Alasanya adalah untuk mengetahui kolongnya rahim, tidak hamil bagi wanita yang di talak, sedangkan kekosongan rahim hanya di ketahui dengan haid.
3)    Fuqaha Anshor berpendapat bahwa quru’ adalah suci terdiri dari Imam Mahit dan Syaf i’. alasanya adalah menjadi pedoman bagi kosongnya rahim dimana masa suci pada haid bukan bukan berarti berpegang pada haid terakhir maka tiga yang di syaratkan harus lengkap masa suci diantara 2 haid.
Nabi SAW bersabda :
مرة فليراجعها حتى يحيض شمّ تطهر ثحيض حتى تطهر شمّ يطلقهاان شآء قبل ان يمسّها
Artinya : “Suruhlah dia, hendaklah ia merujuk istrinya sehinggah iahaid, kemudian suci kemudian haid lagi kemudian menceraikanya juga mau sebelum ia menyentuhnya. Demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Alloh SWT untuk menceraikan istri”.
b)   Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig atau perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan, jika tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan.
والىء يئسن من المحيضى من نسائكم ان ارتبتم فعرّتهن ثلثة اشهر واّلئ لم يحض (الطلاق :4)
Artinya : “Dan perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan jika kamu ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka untuk tiga bulan, dan begitu pula perempuan yang tidak haid.”(Q.S. At Talak : 28 :4) 
c)   Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada iddahnya.
Firman Allah SWT :
ياايهاالذين امنوااذانكحتم المؤمنت ثمّ طلقتموهنّ من قبل ان لاتمسوهنّ فما لكم عليهنّ من عرة تعتر ونها (لللاحزاب :94)
Artinya : ‘’Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian k-moe ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimoe yang kamu minta menyempurnakanya (Q.S Al Ahzab (22):49)
Jika perempuan belum pernah di setubuhi dan di tinggal mati maka iddahnya seperti iddahnya orang i’lah di setubuhi’’
Firman Allah SWT :                                                                                         
والذين يتوفّون منكم ويذرون ازوجا يتربصن بانفسهنّ اربعة اثهر وعشرا
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaknya para istri itu) menangguhkan dirinya (عدة) untuk 4 bulan 10 hari” (Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234)

2.2.2        Iddah Hamil
Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yangdiceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan.
Firman Allah SWT :
واولت للأجمال اجملهن ان يضعن حملهنّ ومن يتق الله يجعل له من امره يسرا (الطلاق :4)
Artinya : “Dan perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah sampaimereka melahirkan kandunganya . dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh menjadikan baginya kemudian dalam urusnya”. (Q.S. At-talaq 28 : 4)
Apabila ia hamil dengan anak kembar maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua jika perempuan itu keguguran maka iddahnya ialah sesudah melahikan baik baginya hidup, mati, sempurna badanya / cacat, ruhya telah ditiup /belum.

2.2.3        Iddah Wafat
Iddah wafat adalah iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal mati suaminya dan masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari.
Firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة : 234)
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-Baqoroh: 234)

2.2.4        Iddah Wanita yang Kehilangan Suami
Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di menunggu selama 4 tahun lamanya sesudah itu hendaknya dia beriddah 4 bulan 10 hari.
عن عمر رضي الله عنه قال : أيما امرأة فقدت زوجها لم ندر أين هو فإنها تنتظر أربعة سنين ثم تعتد أربعة أشهر وعشرا ثم تحل.
Artinya: “Dari Umar R.A berkata: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana ia berada sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu 4 tahun, kemudian hendaknya ia beriddah 4 bulan 10 hari barulah ia boleh menikah. (H.R Malik)
2.2.5        Iddah Wanita yang di Ila’
Bagi perempuan yang di ila’ timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani iddah atau tidak, diantaranya:
a)      Jumhur Fuqoha’ mengatakan bahwa ia harus menjalani Iddah.
b)      Zabir bib Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah.
Perbedaan pendapat ini di sebabkan iddah itu menghabungkan antara iddah dan maslahat bersama-sama. Oleh karena itu bagi fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah, sedangkan fuqoha’ yang lebih memperhatikan segi ibadah maka mereka mewajibkan iddah atasnya.

2.3       Hikmah Iddah
Sebagai peraturan yang dibuat oleh Yang Maha Mengetahui, aturan tetntang ‘iddah pastimempunyai rahasia serta manfaat tersendiri.Kadang kala manfaat itu dapat langsung kita rasakan, namun acapkali baru kita rasakan setelah kejadian lama berlalu. Al-Jurjawy mengatakan sebagai berikut:
1.      Kita dapat mengetahui kebersihan rahim si wanita yang telah ditalak atau karena kematian suami. Kalau tidak ada syari’at tentang ‘iddah, si wanita dapat langsung menikah dengan laki-laki lain, sehingga terjadi percampuran keturunan dan menghasilkan generasi yang samar. Tujuan dharury Hukum Islam yitu hifdzun nasli atau memelihara keturunan tidak akan tercapai.
2.      Memperpanjang masa kembali bagi suami pertama (untuk meruju’ mantan istri) dalam kasus talak raj’i. Menurut penulis inilah yang menjadi yang menjadi esensi dari syari’ tentang ‘iddah ini, yaitu dalam upaya menyelamatkan institusi perkawinan dari kehancuran yang lebih fatal. Nasa tenggang waktu yang relative lama hendaknya dipergunakan untuk instrokpeksi diri, menyadari kekeliruan, memaafkan kesalahan istri atau suaminya dan harapan bersatuya mereka kembali melalui ruju’, menyambung kembali silaturrahmi yang nyaris putus.
3.      Masa berkabung bagi istri yang ditinggal mati suami dan digunakan untuk sedikit mengenang kembali kenangan lama dengan suaminya. Sangat tidak etis, seandainya sang istri dengan cepat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, sementara sang suami baru saja meninggalkan dirinya. Oleh karena itu, ‘iddah bagi wanita yang ditinggal suami adalah masa berkabung.
4.      Sutu masa yang harus dipergunakanan oleh calon terutama suami yang akan menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk ke dalam kehidupan si wanita yang baru dicerai mantan suaminya. Ada kemungkinan si wanita masih memiliki persoalan, mungkin masalah harta atau yang lainnya. Biarkan mereka selesaikan pada masa ‘iddahnya sampai semua persoalan dengan mantan suaminya telah selesai.  Seandainya kita (suami kedua) masuk disaat persoalan dengan suami pertama belum selesai, hal itu dapat merunyamkan keadaan. Bahkan, mungkin terjadi suami pertama tadi – karena cemburu – akan cepat meruju’nya kembali walaupun  itu hanya sekedar kesesalan akibat ulah calon si suami kedua yang nekat dan terburu-buru tadi.
5.      Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah. Pelaksanaan beriddah juga merupakan gambaran tingkat ketaatan makhluk kepada aturan Khaliknya yakni Allah. Terhadap aturan-aturan Allah itu, merupakan kewajiban bagi wanita muslim untuk mentaatinya. Apabila wanita muslim yang bercerai dari suaminya, apakah karena cerai hidup atau mati. Disana ada tenggang waktu yang harus dilalui sebelum menikah lagi dengan laki-laki lain. Kemauan untuk mentaati aturan beriddah inilah yang merupakan gambaran ketaatan, dan kemauan untuk taat itulah yang didalamnya terkandung nilai ta’abbudi itu. Pelaksanaan nilai ta’abbudi ini selain akan mendapatkan manfaat beriddah sebagaimana digambarkan diatas, juga akan bernilai pahala apabila ditaati dan berdosa bila dilangar dari Allah SWT.
6.      Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang yang arif mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberikan kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar disusun, sebentar lagi dirusaknya.
2.4         Tujuan Iddah
Sebagaimana pertanyaan yang sering dipertanyakan, kenapa seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya baik karena cerai hidup atau karena suaminya meninggal dunia diwajibkan beriddah, dan kenapa pula harus selama itu masa iddahnya.Adanya iddah itu ada beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut.
Menurut Drs. Sudarsono, SH. yaitu :
1.      Bagi suami mempunyai kesempatansaat berfikir untuk memilih antara rujuk dengan istri atau melanjutkan talak yang telah dilakukan.
2.      Bagi istri mempunyai kesempatan saat untuk mengetahui keadaan sebenarnya yaitu sedang hamil atau tidak sedang hamil.
3.      Sebagai masa transisi.
Menurut KH. Azhar Basyir, MA. iddah diadakan dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam ajaran Islam.
2.      Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diusahakan agar kekal.
3.      Dalam perceraian karena ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami bersama-sama keluarga suami.
4.      Bagi perceraian yang terjadi antara suami istri yang pernah melakukan hubungan kelamin, iddah diadakan untuk meyakinkan kekosongan rahim.”

2.5         Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Masa Iddah
1.    Para fuqoha sepakat bahwa istri yang berdara pada talak raj’i mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal. Hak yang sama juga diberikan kepada wanita yang hamil sampai melahirkan. Ketentuan ini didasarkan Firman Allah SWT :
اَسْكِنوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلاَتُضَاْرُوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَاِنْ كُنَّ اُولتِ حَملٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ   ( الطلاق : 6 )
Artinya :“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu hamil, maka berikanlah mereka nafkah hingga mereka melahirkan kendungan”(Q.S. Ath-Thalaq : 6)
2.    Bagi istri yang ditalak ba’in, terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengharuskan nafkah dan tempat tinggal, sebagian lagi meniadakan semua pemberian tersebut dan sebagian lainnya hanya memberikan tempat tinggal saja tanpa nafkah. Mereka yang meniadakan nafkah dan tempat tinggal bagi tertalak ba’in mendasar pendapatnya pada hadis dari Ibnu Abbas dan Ali r.a sebagai berikut :
اِنَّمَا السُّكْنَى وَالنَّفَقَةُ لِمَنْ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ
Artinya :“Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda ‘Sesungguhnya tempat tinggal dan nafkah hanya bagi wanita yang ditalak raj’I’”
Mereka yang memberikan tempat tinggal saha mendasarkan pendapatnya pada hadis Fatimah yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwaththa :
لَيْسَ لَكِ عَلَيْهَا نَفَقَةٌ
Artinya :
“Berkata Rasulullah SAW, ‘ Tidak ada bagimu atasnya nafkah’”       
Dalam hadist tersebut tidak disebutkan mengenai tempat tinggal.Mereka berpendapat dengan tidak disebutnya berarti tempat tinggal tetap diberikan kepada mereka.Adapun bagi mereka yang mewajibkan keduanya beralasan keumuman Ath thalaq ayat 6.
3.    Perempuan dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun ia mengandung, karna ia dan anak yang berada dalam kandungannya telah mendapat pusaka dari suaminya yang meninggal dunia itu.
Seperti Sabda Rasulillah Saw:
“ Janda hamil yang kematian suaminya tidak berhak mendapat nafkah.”( Riwayat Daruqutni)
Polemik para ulama bahwa kewajiban suami meberikan tempat tinggal dan nafkah bagi istri yang ditalak, terutama yang ditalak raj’I disebabkan pada waktu ‘iddah istri tersebut tidak menerima dari orang lain, apalagi paitu tidak boleh dipinang orang lain sebab hak suami masih melekat pada kasus talak raj’i. Seperti kita ketahui, wanita dalam talak raj’i itu tidak boleh dipinang orang lain sebab hak suami masih melekat pada wanita tersebut. Karena itu, si istri tidak akan menerima sesuatu, kecuali dari mantan suaminya. Hak yang dia miliki yang melekat pada mantan suami dan pada saat yang sama menjadi .kewajiban istri untuk menaati hak suami yang masih melekat pada dirinya. Dia harus menyadari bahwa mantan suaminya dalam kasus talak raj’i mempunyai hak kembali kepadanya, yang tidak dipunyai orang lain.

2.6         Larangan Bagi Wanita yang Menjalani Iddah
Di antara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
1.    Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk sindiran.
2.    Tidak boleh menikah.
3.    Tidak boleh keluar rumah.
4.    Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad).
Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dan di antara kategori berhias itu antara lain adalah:
·         Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera.
·         Menggunakan parfum atau wewangian.
·         Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.
·         Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna‘) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.
·         Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning.
Di dalam kitab Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq mengatakan:“Isteri yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumahyang ia dahulu tinggal bersama sang suami, hingga selesai masa ‘iddahnya. Dan tidak diperbolehkan baginya keluar dan rumah tensebut.Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkannya dari rumahnya.Seandainya terjadi perceraian di antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah di mana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya di mana ia berada.”
Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Ath-Thalaq ayat pertama.
Apabila isteri yang dithalak itu melakukan perbuatan keji secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu yang tidak baik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut, demikian menurut Ibnu Abbas.
Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan, Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; di mana Aisyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya. Lalu isteri tersebut keluar rumah bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.

2.7         Hukum Iddah
Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, hukumnya wajib menjalani masa iddah itu, sesuai dengan firman allah swt. :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya.”(QS. Al-Baqarah (2): 228).
Diantara hadis nabi yang menyuruh menjalani masa iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh aisyah menurut riwayah ibnu majah dengan sanad yang kuat yang artinya : “nabi saw. Menyuruh baurairah untuk beriddah selama tiga kali haid.Dari ijma’ para ulamak juga sepakat wajibnya iddah sejak masa Rasulullah saw. Ampai sekarang.



BAB III
PENUTUP

3.1         Simpulan
Iddah ialah satu masa  dimana perempuan yang telah di ceraikan, baik cerai hidup maupun cerai mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya kosong atau berisi kandungan.
Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak, hukumnya wajib menjalani masa iddah itu. Iddah terdiri dari beberapa macam yaitu :
1.    Iddah talak.
2.    Iddah hamil.
3.    Iddah wafat.
4.    Iddah wanita yang kehilangan suaminya.
5.    Iddah perempuan yang di-Ila’.
Adapun Hikmah Iddah antara lain :                                                                        
1.    Kita dapat mengetahui kebersihan rahim si wanita yang telah ditalak atau karena kematian suami.
2.    Memperpanjang masa kembali bagi suami pertama (untuk meruju’ mantan istri) dalam kasus talak raj’i
3.    Masa berkabung bagi istri yang ditinggal mati suami dan digunakan untuk sedikit mengenang kembali kenangan lama dengan suaminya
4.    Sutu masa yang harus dipergunakanan oleh calon terutama suami yang akan menikahinya, untuk tidak cepat-cepat masuk ke dalam kehidupan si wanita yang baru dicerai mantan suaminya.
5.    Iddah sebagai ta’abbudi kepada Allah
6.    Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu agar dapat menghimpunkan orang-orang yang arif mengkaji masalahnya dan memberikan tempo berpikir panjang.
Hak dan kewajiban suami istri pada masa Iddah
1.    Para fuqoha sepakat bahwa istri yang berdara pada talak raj’i mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal.
2.    Bagi istri yang ditalak ba’in, terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengharuskan nafkah dan tempat tinggal, sebagian lagi meniadakan semua pemberian tersebut dan sebagian lainnya hanya memberikan tempat tinggal saja tanpa nafkah.
3.    Perempuan dalam iddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun ia mengandung.
Di antara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah:
1.    Tidak boleh menerima khitbah (lamaran) dari laki-laki lain kecuali dalam bentuk sindiran.
2.    Tidak boleh menikah
3.    Tidak boleh keluar rumah
4.    Tidak Berhias (Al-Hidad/Al-Ihtidad)
3.2         Saran
Harapan kami semoga dengan selesainya makalah ini dapat memenuhi kebutuhan materi bacaan, terutama bagi para mahasiswa syariah. Namun, tidak menutup kemungkinan makalah ini bisa terselesaikan dengan sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari para pembaca kami harapkan terutama dari Bapak dosen pengampuh.




DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Drs. H. Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Mardiana. 2011. Makalah iddah.
Hasanah, Mauizatul. 2013. Makalah tentang iddah. http://mauilyadit.blogspot.com/2013/06/makalah-tentang-iddah.html.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By